Rabu, 20 Juli 2011

Relasi Negara Dan Agama



Negara dan agama adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainya. Dimana timbulnya suatu masyarakat yang disebut sebagai warganegara merupakan individu yang menganut suatu agama. Sajarah telah mengukir bahwasanya tidak ada suatu Negara yang warganya tidak menganut agama di belahan dunia manapun, walaupun ada pula sebagian Negara yang memberi kemerdekaan pada mereka para ateis untuk tidak bertuhan dan beragama. Namun para ateis pun sebenarnya merupakan suatu individu yang timbul karena “keakutan individual semata” yang sebenarnya mempercayai adanya tuhan. Kesalahan mereka mengatakan bahwa tuhan adalah hasil ciptaan dari manusia sendiri. Tuhan adalah proyeksi manusia, dimana lahir dari angan-angan manusia itu sendiri (Ludwig Feuerbach[1]), ini sebabnya mereka jauh dari kondisi pnaganut agama, sebagai agama-agama dunia yang diakui.
Agama di belahan dunia sangat mempengaruhi corak suatu Negara. Agama tidak hanya berbicara tentang masalah ketuhanan dan peribadatan saja, akan tetapi lebih luas berbicara tentang masalah-masalah kenegaraan, masalah kemasyarakatan dan juga ekonomi politik sekalipun. Di akui atau tidak peran agama sangat mempengaruhi terbentuknya suatu Negara. Hal ini terbukti, Indonesia sebagai Negara teokrasi yang di dalamnya terdapat beberapa penganut agama, melandaskan prinsip agama sebagai ideology kenegaraanya, hal ini bisa dilihat dalam pembukaan undang-undang  yang mengakui tentang adanya peran tuhan dalam kemerdekaan Negara dan lebih jelas terdapat pada silah pertama UUD tentang ketuhanan yang maha Esa.  
Signifikasi pembentukan suatu Negara dalam membendukung berjalnya eksitensi agama juga sangat penting. Di beberapa Negara yang menerapkan hukum agama sebgai hukum Negara, seperti arab Saudi dan lain sebagainya, hampir semua doktrin agama di jalankan oleh pemerintahan Negara. Itu sebabnya Muhamad Syatout mengatakan “tidak mungkin tergambarkan agama islam tanpa adanya pengarahan dari masyarkat dan politik Negara, karena apabila demikian Negara itu tidak bersifat islami”[2]. Walaupun ada pula yang mengatakan, Negara yang kuat dengan agama, biasanya Negara-negara yang system kenegaraanya bersifat teokrasi. Akan tetapi perlu di ingat di Negara yang tidak menganut system teokrasi pun agama berjalan sangat harmonis dalam mendukung terbentuknya Negara. Dengan tanpa menafikan Negara yang bersistemkan monarki atau demokrasi, semuanya merujuk kepada agama sebagai intregrasi yang mengikat masyarakatnya.  
Indonesia adalah Negara yang berhasil mengintregasikan semua agama yang ada di dalamnya. Perubahan piagam Jakarta merupakan hal yang tidak bisa di lupakan, dimana fauding father Negara ini membius para pengikut agama yang berbeda dengan cara memformulasikan pancasila sedemikian rupa, sehingga corak agama tidak menjadi suatu hal yang menjungkalkan umat beragama untuk berbeda dan beradu diatas perbedaan keyakinannya. Indonesi yang juga berpenduduk islam tidak, tidak sedikit hukum islam yang telah mewarnai hukum formalnya. Di sanah hukum keluarga secara eksklusif mempunyai lembaga yang sama dengan hukum formil, dalam hal ini peradilan agama untuk perkara kewengan absolute masalah di peradilan agama.
Hukum yang dianut Negara Indonesia adalah hukum tinggalan belanda, dimana hukum itu menjadi sebuah mazhab hukum terbesar sejajar dengan camon law system. Mereka belanda meninggalkan sebuah mazhab hukum formil yang kita kenal dengan nama civil law system, dimana semua hukum harus tertulis secara UU, tanpa tertulis hukum itu dianggap tidak ada. Walau demikian hukum yang diadopsi ini tidak begitu merugikan agama islam juga agama lainya, keluar dari rasa ketidak adilan dan kekurang puasan putusan yang di putuskan oleh hakim pengadilan, hukum itu belum bisa tergantikan hingga sekarng. Masyarakat kita sebagai masyarakat beragama tidak pernah terusik akan berlakunya hukum civil law system itu. selain itu dalam historisi hukum di Indonesia sebenarnya belanda juga memberi kemerdekaan pada orang islam untuk menjalanjalankan beberapa hukum, walau dibilang dalam porsi kecil, seperti hukum waris yang telah menjadi hukum tersendiri bagi orang islam. Dan kini Indonesia melalui amandemen-amandeman surat keputusam presiden agama islam sudah mendapat porsi hukum dan lembaga peradilan agama yang lumayan luas.  
Peradilan agama adalah lembaga yang dapat di setarakan dengan lembaga peradilan umum. Dimana agama lain tidak mempunyai lembaga peradilan sebagaimana agama islam. Dalam kaitan ini mereka yang selain beragama islam tidak serta-merta irih dan membrontak. Mereka sudah puas dengan adanya peradilan umum. Ini sangat ironis jika sebagian kecil komunitas islam yang tergabung dalam oramas islam ngotot pingin menjadilan Indonesia sebagai Negara islam. Pendek kata fauding father Negara ini telah mengajarkan kepada kita untuk hidup berdampingan secara damai. Telah lama sejara kita mengukir kemerdekaan, namun tidak satupun terjadi perang antar agama secara prontal, kalaupun ada itu dapat di pupuskan secra damai dan tidak berkelanjutan. Kita ambil contoh parang antar agama di poso yang melibatkan pengikut agama Islam dan Kristen, peristiwa itu tidak mengundang pengikut agama yang sama di lain daerah untuk berperang juga. Ini membuktikan sangat saktinya intregasi pancasila. Terlepas dari presepsi islam telah di pecundangi media pemberitaan, kita telah saksikan semua kejadian itu. Hemat penulis menjadikan dalih kejadian itu untuk mendukung gerakan makar dan kemudian menjadi separatis dan pemberontak itu yang lebih membahyakan intregritas yang selama ini berjalan harmonis sesuai dengan cita-cita faunding father Negara ini.
Jika kita menengok sejarah sejenak, betapa sulitnya menyusun persiapan kemerdekaan Negara Indonesia, dan ulama islam sangat banyak berperan dalam persiapan itu. Penulis yakin tidak mungkin mereka tega menjadikan umpan agama sebagai keperluan pribadi mereka. Lalu punya hak apa kita melunturkan usaha mereka yang sudah teruji kemaslahtanya dari mulai kemerdekaan di denggungkan sampai sekarang. Dimana saat ini para penganut agama dapat dengan kusu’ menjalan agama tanpa takut di serang penganut agama lain. Islam saja juga mengatakan bahwa agama bukan suatu paksaan (la ikroha fiddin), melainkan agama adalah sebuah keyakinan hati terhadap adanya tuhan, melakukan apa yang di perintahnya dan menjahui larangannya, baik melalui Al-Qur’an atau Rasulnya. Itu sebabnya Gus Dur Bilang ‘Tuhan Tidak Perlu Di Bela” dalam salah satu judul bukunya. Hal ini karena betapa separatis  bidab yang mengatas namakan agama dan jihad sangat massif dalam organisasinya dan juga serangannya terhadap Negara ini.
Menurut Mahfud MD dalam anekdotnya[3]. Perlunya Negara ini mendekati pentolan-pentolan gerakan separatis  yang dapat menurunkan intregasi Negara ini. Dalam kaitanya unsure cemburu ini yang menyebabkan mereka membuat suatu gerakan. Siapa tahu dengan menarik mereka kedalam pemerintahan, bisa membuat mereka luluh hatinya. Libatkan saja mereka di pemerintahan, guna memikirkan betapa dia harus berpikir tentang kesejahteraan rakyatnya. Supaya ada belas kasih terhadap masyarkatnya, bagaimana masyarakat yang terkena dampak perlakuan makarnya. Penulis kira upaya ini perlu di lakukan oleh Negara. Karena di era yang sudah seperti ini. Timbulnya suatu gerakan bukan di dasarkan atas ketidak sefahaman saja, gerakan itu timbul karena rasa irih dan dengki saya kira. Jadi jika di penuhi apa yang di irihi terhadap Sesutu mungkin akan jadi tidak berfikir negative tentang Negara ini.
Intregasi repoblik Indonesia yang kini terinfeksi dengan adanya beberapa gerakan separatis adalah sudah menjadi polemik yang menyedihkan sebenarnya. Namun sekali lagi jika masalah-masah kenegraan ini di kembalikan kepada keagamaan maka akan menemui titik terang. Usaha pemerintah untuk melakukan mengupulkan para elit agamawan untuk berdialog antar agama sangat signifikan. Namun sayangnya lagi, jika pondok pesantren tidak ambil andil dalam hal itu. Ini kenapa, adakah akan timbul lagi yang infeksi-infeksi yang tibul dari beberapa arah selain separatis teroris itu. Dimana penulis sangat menyayangkan jika pesantren selama ini telah dituding sebagai sarang teroris. Presepsi ini perlu lah bagi orang pesantren untuk melakukan dialog-dialog dengan meraka agar eksitensi pondok pesantren sabagai pabrik produksi ilmuan agamawan tidak dipandang sesadis presepsi miring selama ini.
Tetaplah relasi agama dan Negara akan selalu harmonis jika saja konfrontasi-konfrontasi dapat di redam dengan cara melakukan dialog-dialog lintas agama oleh agamawan yang berkepala dingin mungkin dapat mendinginkan pengikut agama yang lain. Apalagi perealisasian ilmuan-ilmuan kepada masyarakat Negara terhadap pengertian dan maksud pancasila sering diseminarkan, maka akan menjadi pengetahuan kaum awam tentang maksud pancasila dan tujuan fauding father Negara ini. Dengan demikian kesadran masyakat sebgai warga Negara dan pengikut agama tidak terjerumus dalam ideologi-ideologi busuk para separatis dan pembrontak.

Oleh.:    Agus Salim
1 juni 2011
                                                                                                (Peringatan Kesaktian Pancasila)



[1]  Seorang Filosof asal jerman Yang melahirkan konsep ateime pertamakali.
[2] Lihat fiqih syiyasah Prof. H.A.Djajuli , kencana. Jakarta.  Hal. 81
[3] Catatan seminar penulis terhadap Mahfud MD pada sarasehan seratus hari meninggalnya Gus Dur aula K.H. Wahid Hasyim Tebuireng