Kamis, 24 Februari 2011

NU VS NKRI

Nahdhotu Ulama’ adalah jam’iyah atau organisasi masyarkat keagamaan yang sangat besar. jam’iyah yang pernah di pimpin Gus Dur ini meninggalkan banyak sejarah yang tak terlupakan bagi bangsa Indonesia. Dalam kaitanya Nahdhotu Ulama’’ mempunyai peran dalam menyukseskan pengakuan masyrakat terhadap Indonesia sebagai neagara kesuatuan repoblik Indonesia. Dari banyak suku yang ada, dari bermacam-macam agama juga ragam kebudayaan dan kalangan mengakui akan adanya Negara kesatuan repoblik Indonesia.

Nahdhotu Ulama’ mampu merangkul semua pihak dan menyetujui tentang pancasila sebagai prinsip dasar Negara repoblik Indonesia, dan juga melegitimasi penerapan hokum formil sebagai peraturan yang mengundangkan berbagai pesoalan hokum di Indonesia. Hokum yang diadopsi dari belanda sebagai perundang-undang untuk Negara indonesia itu walau dianggap tak sejalan dengan prinsip islam yang sebagaimana tercatat dalam historis islam dalam perkembanganya tetap di setujui oleh masyarakat intelek Nahdhotu Ulama’. Hal ini tebuki saat dilakukannya munas Alim Ulama’ pada tahun 1983 dan juga muktamar Nahdhotu Ulama’ pada tahun 1984 disitubondo yang menyepakati tentang kebulatan pancasila sebagai prinsip dan karakter Negara indonesia.

Sulit memang memahami gerak-gerik Nahdhotu Ulama’ sebagai jam’iyah atau organisasi masyarakat keagamaan ini. Sering sekali kita melihat ketimpangan-ketimpangag kultur yang banyak orang menganggap masyarakat nahdiyin sangat kolot, primitive dan lain sebagainya, tapi ironinya jam’iyah kemasyarkatan keagamaan ini malah meyetujui pemeberlakuan hokum formil hasil adopsian dari Negara kafir (civi low system Dari Belenda) dan mengiyahkan pancasila sebagai dasar pemikiran Indonesia. hal lebih mengejutkan lagi salah satu tokoh dari dari jam’iyah ini mengiyahkan masyarakat’ atau agama pendantang sebagai agama yang diakui oleh Negara kita. Masyarakat Indonesia pun akan terkaget dengan keputusan ini “wong gak ikut berjuang dan mengusir penjajah ko’ malah diakui sebagi bagian dari Negara ini. Siapalagi tokoh itu kalau bukan Gus Dur yang notabenya cucu dari pendiri jam’iyah ini. Hal ini bukan tidak beralasan. Karena dalam jam’iyah ini mepunyai prinsip yang sangat mendasar untuk memberikan simpulan keputusan keputusan itu.

Islam yang dikenal segabai agama yang rahamatal lil alamin adalah agama yang tujuan pokok syari’atya menjamin terhadap kebebasan beragama, menjamin terhadap kesalamatan jiwa atau kehidupan, menjamin terhadap kebebasan berfikir atau berpendapat, menjamin kelangsungan keturunan dan menjamin terhadap harta milik atau propesi. Sedangkan yang dapat mengimplementasikan dan memahami tujuan pokok ini secara bulat adalah jam’iyah Nahdhotul Ulama’ secara universal melaui ideologi jam’iyahnya. Sehingga dalam jam’iyah Nahdhotu Ulama’ dikenal prinsip I’tidal (tegas atau tegak), tawashut (moderat), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan maslahah amma (kesejahteraan umum) yang harus di pertimbangkkan oleh warga Negara dan pengikut agama yang baik. Dari sisni pula warga nahdyiyin harus memperhatikan prinsip dasar ini. Dalam menyikapi maslah-maslah kenegaraan yang tak menentu ini masyarakat dituntut untuk memahami arti kemerdekaan Negara Indonesia.

Diakui atau tidak bahawa kekuatan jam’iyah ini adalah tidak terlepas dari peranan pesantren. Akan tetapi pesantren yang menjadi embirio lahir dan tumbuhnya jam’iyah Nahdhotul Ulama’ ini malah tak pernah mendapat simpulan yang massif dari berbagai pihak. Sebagaimana masyarakat Nahdiyin yang lain, pesanteren adalah masyarakat yang di pandang primitiv dalam kajianya. Sehingga masyarakat Nahdiyin ataupun masyarakat pesantren tidak begitu faham dengan prinsif-prinsif yang telah di tetapkan oleh faunding Father dari jam’iyah yang mereka ikuti ini. Sehingga menimbulkan pengkultusan-pengkultusan terhadap kebijakan Gus Dur yang menyetujui tentang kebijakan-kebijakan pemerintahan atau kebijakan beliau sendiri dalam mempertahankan Negara kesatuan reploblik Indonesia untuk ibu pertiwi ini.

Kebijakan Gus Dur yang bertendensi kepada prinsif diatas senantiasa kontropersial dikalangan warga Nadiyin sendiri ataupun non Nahdiyin. Justifikasi masyarakat tentang keputusan Gus Dur terlalu dini sehingga Gus Dur di anggap peramal dan lain sebgainya.

Sebagaimana yang diungkapkan Mahfud MD Gus Dur adalah salah satu orang yang menginginkan nagara Indonesia sbagai Negara islam begitu juga syafi’I ma’arif dari masyarakat muhammadiyah, akan tetapi setelah mereka berdua menimba ilmu di barat mereka pulang dengan keinginan dan pemahaman yang berbalik dari sebelumnya, yakni mempertahankan indodonesia sebagai Negara yang berasakan pancasiala sebagai gagasan kenegaraan yang final.

Negara yang menggunkan system islam sendiri menurut para pakar hampir tidak ada di dunia ini. Bahkan menurut Mahfud MD mesir saja sebgai Negara islam yeng meninggalkan seribu sejara bagi perkembangan agama islam tidak lagi menggunakan system pemerintahan islam. entah apa alasanya namun itu realitanya. Sedang Indonesia sendiri yang sebelum kemerdekaan sudah dihuni masyarakat dengan beragam suku bangsa, beragam bahasa dan agama tidak lah mungkin menjadikan Negara yang di bangun bersama dengan agama lain ini menjadi Negara yang menganut system Negara agama islam.

Nagara kesatuan repoblik Indonesia lah yang telah dianggap sebagai kebijakan final untuk mempersatukan masyarakat Indonesia. Nahdhotul Ulama’ sendiri mencabut piagam Jakarta senantiasa dan suka duka menyelami karakteristik Negara kesatuan repoblik Indonesia ini. Walaupun orde baru telah sempat memfitnahnya bahawa Warga Nahdiyin telah menolak prinsip pancasila sebagai dasar pemikiran atau kerakter negara ini oleh Suharto pada RAPIM ABRI di palembang tahun 1970. Namun sikap jam’iyah Nahdhotul Ulama’ yang dipimpin GusDur itu mempunyai tekat selagi system kenegaraan indonesia tidak memnyebabakan pertumpah daraan, dan juaga memaksa umat islam untuk berbuat maksiat kepada Allah bentuk kenegaan seperti ini dianggapnya final dan sangat maslahah bagi pengikut islam kususnya.

Denagn demikian upaya mereformasi system kenegraan Indonesia yang merupakan Negara kesatuan repoblik Indonesia menjadi Negara yang menerapkan system kenegaraan islam adalah tidak sebaiknya dalam benak para orang muslimin baik warga Nahdhiyin atau non Nahdiyin. Sesuai dengan comitmen para pendiri Negara ini adalah Negara yang mengenal arti pluralism anatar agama dan suku bangsa. Tak mungkin lagi menafikan orang non islam dinegara ini. Sekali lagi selama kemaslahatan masih melekat untuk system Negara ini berati tak mungkin mengubahnya. Sesuai dengan pedoman pancasiala “berbeda-beda tapi tetap satu jua” inilah yang dianamakan Negara kesatuan repoblik Indonesia.

Ogut Medan 06 february 2011
Tamabakberas

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda