Minggu, 24 Oktober 2010

PERJALANAN HUKUM ISLAM (Historis Hukum Islam Dari Masa-Kemsa)


Islam adalah agama yang sangat korehensip dia mempunyai historis yang panjang. Historis inilah yang mengantar pengikutnya untuk mempelajari doktrin yang diajarkan oleh nabi pembawa risalah. Doktrin islam pun tidak sebatas hanya pada ubudiyah dan akhalak, akan tetapi lebih dari itu islam juga mengajarkan proses muamalah yang baik untuk mengatur tatananan masayarakat yang dinamis dan tidak bisa terlepas dari peranan orang lain. Oleh karana islam mengatur muamalah umatnya sebaik mungkin, dalam kaitanya islam menelurkan hukum-hukum atau aturan-aturan untuk mengatur umatanya.
 Dalam perjalanan historisnya,  hukum islam merupakan hukum yang di landaskan pada dua dasar hukum islam itu sendiri ya’ni Al-Qu’an dan Al-Hadist, Namun perkembangannya akan memaksa umatnya untuk memegang ijma’ dan Qiyas sabagai penetapan terakhir jika tidak ditemukan hukum dalam Al-Quan dan Al-Hadist. Itulah mungkin perlunya menela’ah perkembangan historis hukum islam muali dari masa nabi asampe erah sekarang ini.
Dalam makalah kami ini akan dibahas perjalanan hukum islam, berawal dari priode nabi sampai dengan setelah orde baru. Dan kami akan membahas sabaimana runtutananya sebagaimana berikut.
A.                 Hukum Islam Pada Priode Nabi.
Pada pra islam datang kesatuan masyarakat arab adalah bersuku-suku dan berkelompok-kelompok. Oleh karnya terjadi suku kelompok satu akan mengklaim keturunan suku kelompok lain. Meneganai ritual-ritual mereka tidak dilahirkan dari doktrin agama tapi  dilandaskan kepada kebiasaan-kebiasaan tradisioanal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan menurut Coulson, suku-suku itu diikat oleh lembaga-lembaga hukum yang tidak tertulis yang berkembang sejalan dengan perkembangan suku itu.[1]
Dalam bermuamah seperti pinjam-meminjam kenekan bunga, bunga yang dimamai ribah itu merajalela, penyususnanm-penyusunan perajanjian harta tidak terbatas. Jika saja ada yang meninggal dari mereka harta waris akan di berikan pada ahli waris perempuan yang bisa mengangakat senjata, smentara ahli waris laki-laki dan anak disinkirkan. Selain itu pula hubungan seks dan setatus anak ditengah-tangah masyarakat  juga tidak jelas seorang diperbolehkan untuk mengawini ibu tirinya dan juga bebas memutuskan perkawinan itu dan setelah itu dia bebas untuk mengawini siapa saja dan kapan saja dia mau. Kemudian  budaya-dudaya orang arab yang telah berlaku terkikis secara pelan tapi pasti dengan datangnya sang nabi pembawa risalah. Walau pun sulit dirasa semua budaya itu sedikit-sedikit berubah.
Nabi dilahirkan pada tahun 570 M. pada usia 40 tahun, beliau mendapat wahyu peratama : Bacalah dengan nama tuhanmu, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan tuahanmu adalah yang maha mulia, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.[2]
Sedang  masa kenabian telah dimulai pada tahun 160 M . selama ini Al-Quan merupakan  sumber hukum peratama. Al-Qu’an diwahyukan oleh Allah untuk menuntun kejalan yang benar ,priode kenbian berlangsung  22 tahun dengan rincian 12 tahun  nabi bertempat tinggal dimakah dan 10 tahun bertempat tinggal dimadinah. Pada saat ini Al-Hadist atau As-sunah sebagai sumber hukum kedua, dimana definisi As-Sunah  adalah semua perbuatan Nabi, ucapan Nabi dan ketetapan Nabi pada perilaku shohabat atau dalam member hukum terhadap sesuatu.
Pada masa nabi terbagi dua proses pemberian doktrin bagi umatnya, yaitu ketika nabi berada di makah dan madinah. Pertama ketika beliau berada di makah beliau hanya disebukan denegan bagaimana orang arab agar mau masuk islam, oleh karna itu nabi  melakukan Perbaikan akidah. ini diharapkan dapat menyelamatkan ummat islam dari kebiasaan membunuh, berzina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Sedangkan hukum-hukum ibadat banyak disyari’atkan di Madinah, ibadat-ibadat yang di syari’atkan di Mekkah hanyalah yang mempunyai hubungan erat dengan akidah dan akhlak seperti: mengharamkan bangkai, dan Kedua. Setelah Nabi Muhammad saw berada di Madinah barulah beliau mengarahkan tenaganya kepada membina hukum – hukum pergaulan atau kemasyarakatan seperti: muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumph, dan peradilan. Kerena pada fase madinah ini islam tidak lagi lemah, adanya ajakan untuk mengamalkan syari’at islam dalam rangka memperbaikai hidup bermasyarakat dan membentuk aturan damai dan perang[3].
Dimasa ini para kaum muslimin tidak juga para sahabat khulafaurosidun tidak meragukan sama sekali apa yang datang dari nabi, baik berupa Al-Quran atau As-Sunah. Mereka selalu mematuhi hukum yang diberi oleh nabi, oleh karanaitu dimsa ini yang menjadi pijakan hukum dalah Al-Quran dan Al-hadist. Dan para kaum muslimin tidak ada kesulitan untuk mencari hukum atau menghukumi sesuatu pada saat itu, karna wahyu yang berupa Al-quran masi turun dan juga nabi masi hidup, dengan demikian mereka bisa menanyakan langsung pada sumberhukum(Nabi) masalah yang ditemui.

B.                       Pada Masa Khulafaurosidun.
Sebagaimana kami jelaskn diatas bahwa dimasa nabi masi hidup para akaum muslimin tidak mngalami kesulitan dalam menetapkan hukum yang dijumpai, karana nabi senantiasa membimbing dan meperhatikan mereka untuk menghadapi setiap masalah yang menerpa mereka, namun ketika Nabi telah wafat para sahabat khulafaurusidun dan shohabat lain dipaksa bekerja keras untuk menyimpulkan hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Dan pada saat sperti ini para sahabat menggunakan Qiyas dan Ijma’.
Problem pertama yang mereka hadapi adalah pemilihan Abu Bakar sabagai pengganti nabi. sebaimana pada saat nabi meninggal kaum muslimin yang beriman ada yang murtad dan adapula yang semakin lemah imannya karana nabi meninggal. Pada saat itu pula krisis kepemimpinan terjadi. Hal ini karana pada saat nabi masi hidup beliau tidak menunjuk siapa pengganti beliau kelak. Pada saat ini para pembasar sahabat berijtihad untuk mengeluarkan krisis kepemimpinan. Mereka mengqiaskan bahwa saat Nabi masi hidup, Nabi perana menyuru Abu Bakar untuk menjadi imam sholat Jama’ah, dari peristiwa itu mereka  para shohabat mengqiqskan hal itu kepad permsalah kepemimpinan Abu Bakar.
Sabagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Muslehuddin . Prosedur yang mereka  tempuh untuk mempertahankan bentuk hokum yang ideal dan mepunyai kausa yang jelas dan kuat disebut  qiyas tamm. Seadang yang tidak jelas kausanya disebut Ta’wil. Sedangfungsi Ta’wil adalah untuk menemukan sabab aturan yang telah di wahyukan, guna dikembangan ke dalam kasus-kasus serupa, dengan menujukan kepada kata-kata dari atruran atau hokum yang diwahyukan(nash) , mengatahui penegritan implinsit dari nash maupun mengetahui apa maksud dari As-Sunah. Dan dalam hal ini para shabat sama sekali tidak menggunakan pendapat pribadi ataupun penalaran mereka. Mereka mungkin ingat sabda babi “Barang siapayang menjelaskan Al-Quran dengan menggunakan pendapat pribadi maka dia harus bersiap untuk menduduki tempatnya di api neraka.
Setelah penbgakatan Abu Bakar menjabat kholifah timbul fitnah pulah tentang pembelotan kaum muslimin, begitu pula dari kaum non muslim, sebagian dari mereka ada yang mengaku sebagai nabi.pergolakan itu terus berkelanjutan. Penipu itu bermunculan dengan surat palsunya sehingga saidina Umar mengusulkan agar Al-Quran segera dikodifikasikan, selain itu pula banayak sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dimedan perang untuknya jika Al-Quran tidak di tulis dan dikodifikasikan pasti akan ternoda ke ontetikanya. Mereka mulai mengumpulkan tulisan-tulisan ayat Al-Quran yang berada dirumah fathimah dan yang tercer di penulis-penulis wahyu saat nabi masi hidup, setelah itu mereka mengumpulkan para shabat yang hafidh Al-Quran dari manca Negara guna menyamakan tulisan dan juga bacaan[4].
Hal ini juga harus kita akui sebagai ijtihad, shabat yang berusaha mengadakan sesuatu diamana pada masa nabi belum pernah terjadi pengkodifikasian Al-quran seperti ini. Oleh karnya upaya beliau inilah sebagai patokan bagaimana mereka menggalih hokum pada masa itu.

C.        Priode Bani Umayah.
Pereode ini sebut juga dengan masa Shighori Shohabat, dimana pada masa ini yang memegang kekuasaan kholifah adalah shabat Muawiya bin Abi syufyan. Muawiyah menjabat menjadi kho;ifah pada tahun 41-132 H. priode ini ditandai dengan pergerakan dua kubu separatis ya’ni khowarij dan juga syi’ah.
Di periode umayah juga di tandai dengan pengngkatan  pera hakim untuk menyelesaikan perselisahan dengn kemapuan yang tidak dibatasi untuk memutuskan kasus-kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi mereka(ra’yu). Tidak ada pengaruh penyeragaman yang ditekankan pemerintah pusat dan tidak ada hirarki pengdialan yang mengikat presiden-presiden yang mungkin menyergamkan sistem dalam dalam menghadapi suatu kasus . juga tidak dapat diktakan hokum-hukum Al-Quran menyediakan unsur pemersatu yang kuat. Selain bidang yang terbtas ini, baik apakah norma-norma Al-Quran diterapkan atau tidak sama sekali benar-benr telah tergantung pada tingkat pengetahuan dan kesalah yang dimiliki oleh seorang hakim, tapi untuk hakim yang saleh, penafsiran atas ketetapan Al-Quran sebagian besar merupakan masalahkebijakan personal, ssehingga selain peraturan –peraturan yang sederhana dan mendasar, aplikasi sering ditambah dari pada dikurangi dari perdean yang umum dalam praktek hokum.

D.     Periode abasiyah.
Periode abasiyah adalah periode yang baik untuk mempeljari sistematika hokum islam,. Pada periode ini beberapa aliran hokum islam muncul, dimana yang monumental dalah empat aliaran sunni yang dikait kan dengan nama Abu Hanifa, Malik bin Anas syafii. Dan Ahmad bin Hambal.
a.      Abu hanifah.
Nua’im ibnu Sabit dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Lahir pada tahun 80 H dikufah(irak) dan meninggal delapan belas tahun setelah Abasiyah berkuasa . ia memiliki kekutan nalar yang luar biasa dan yang merumuskan teori istihsan atau teori hokum yang menunjukan pelanggaran hokum atas analog ketat demi kepentingan umum.
Disini dapat di catat bahwa penalaran seseorang bisanya disebut opini tau ro’yu, tapi ketika digunakan oleh mujtahid atau orang memenuhi persyaratan maka disebut ijtihad atau usaha menyimpulkan pereturan-perturan hokum .” ketika ditunjukan untuk mencapai sistematika konsistensi dan di tuntun oleh institusi   atau keputusan yang ada maka disebut qiyas atau analogi,kesamaan penalaran ketika merefleksikan pilihan pribadi dan kebebasan pendapat seorang ahli hokum  , yang dituntun oleh edialnya yang tepat, maka disebut ihtisan atau istishab(persetujuan atau pilihan).sedang abu hanifah disebut pendukung pendapatnya sendiri.
b.      Malik bin Anas.
Malik bin anas yang terkenal sebagai imam malik lahir pada tahun 95 H dimadinah. Madinah juga tempat diamana ia belajar dan juga tempat dia dinajuluki ahli hadisyang paling keterkemuka. Ia juga ahli hokum  yang besar dan aliaran malki di kaitkan debngan namanya. Dia banyak belajar tentang hadist nabi yang diambil oleh para sahabat. Tapi tidak boleh dibyangkan bahwa aliranya didasarkan pada siakap mendukung hadist secara kaku. Kenyataanya justru sbaliknyayang dalam beberapa hal  sulit untuk membedakan mana malikiyah dan mana hanafiyah. Karana sumber pertamnya tetap Al-quran , kemudian As-Sunnah digabungkan dengang pengalaman para kholifah dan UU kota yang tidak tertulis.
Malik sangat terkait dengan arti penting tradisi madinah dengen anggapan bahwa tradisi-tradisi ini pasti telah dipindahkan dari maasa nabi.konsep lain yang dikembangkan oleh malik adalah persetujuan atau ijma’ . dia tidak member kekuasaan  memutuskan melaui ijma’ kepada dunia luar, karna madinah merupakn dunia baginya dan persetujuan Madinah semata dapat menetapkan kebenran universal.[5]
c.       Syafii.
Nama asli imam syafii adalah Muhammad bin Idris As-syafii. Lahir dipalistina pada tahun 150 H. beliau dalah murid dari imam malik. Sejak kecil beliau  sudah terkenal sebagai pelopor yurisprudensi islam. Teori-teori terkenal karena pandangnya yang sederhana arisalah adalah karya monumental yang menujukan pandangan yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenahi pengetahuan hokum.buah penanya tentang yurispudensi arisalah merupakan karya monumental yang menunjukan pandangannya yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenai pengetahuan hokum yang memungkin kan untuk mengatakan apa yang menjadi kata pemutus dan permasalahan.
Keteguahan beliau dalam memegang hadist nabi termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadist sama-sama mangikat dan jika dipertentangkan dengan dua atau lebih hadist yang jelas bertentangan maka dia menggunakan interprestasi yang mengharmoniskan dan beliau jugga tidak perna menganggap ada hadist bertentangan jika ada cara untuk menyatukannya jika kedua hadist itu tidak bisa di kompromikan maka beliau akan memilih yang lebih dekat dengan Al-Quran dan mempertahankan bagian dari sunnah Nabi yang tidak dipertentangkan lagi.
Sedang kan pandangan beliau tentang Al-Quran .bagi beliau Al-Quran meerupakan dasar dasar hokum dan penjelasan segalah sesuatu , sepritual dan temporal dimana orang beriman diaharuskan mengamatinya. Ia membagi hokum Al-Quaran kedalam kategori yang berbeda. ‘Ada’ ia mengamati pereturan umum yang dijelaskan oleh konteks tetapi ada juga aturan implisit ia menambahkan ada pereturan umum dimana hanya sunnah yang dapat menetukan umum dan khususnya. Konsep ini dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam penapsiran ayat Al-Quaran.
 Pandangan syafii mengenahi sunnah nabi telah didiskusiakan ditas. Ijma’ (consensus ) baginya bukan bukan sebagai kesepakatan beberapa ahli hukumlokal atau daerah tentang masalah tertentu tetapi ia memberikan arti yang lebih luas agar mencakup persetujuan seluruh masyarakat, dan ini mungkin dengan cara memelihara keseragaman hokum, tapi mengingat kesulitanya mencapai persetujuan semacam ini, maka ulama’-ulama menetang pandangan imam syafii ini , imam ghozzali menyusun sebuah modus Vivendi dengan membatasi kebulatan seluruh masyarakat untuk dasar.meninggalkan masalah-masalah yang detail demi persetujuan para ulama.
Ia membatasi penggunaan qiyas atau analog untuk masalah-masalah detail pada prinsipnya Syafii mengakui hanya penalaran sistematis analog yang ketat untuka mengeluarkan pendapat yang berubah-ubah dan keputusan yang bebas  , baginya ro’yu dan ihtisan dalah sinonim. Begitu juga teori maslaha mursalah yang dikembangkan oleh imam malik.[6] 
d.      Ahmad bin hambal.
Diantara  ulama’ besar yeng mengikuti ajaran syfii adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal yang dikenal sebagai imam  Ahmad bin hambal. Beliu lahir di Baghdad pada tahun 164 H. repotasinya sebagai ahli hadis dan teologi lebih besar dari pada ahli hokum. Ia amat ketet memegangi hadist nabi dan menginterprestasikan secara literal. Tidak seperti imam –imam yang lain, beliau membolehkan doktrin ijma’ dan qiyas dengan amat terbatas . ia sama sekali tidak menerima pemikiran manusia sebagai sumber hukum hanya sunnsah nabi dan wahyu ilahiya dalam Al-Quran yang berwenag sebagai sumber hokum .  kesalehanya dapat di kumpulkan  dari fatwa bahwa beliau mengatakan tidak perna memakan buah semangka karna tidak menjumpai teladan nabi dalam masalah ini. Sedang karyanya yang amat monumental adalah muasnad yang memuat 40.000 hadist.

E.      Pasca Priode Abasiyah.
Pada masa ini pemikiran ahli hokum mengalami penurunan bersamaan dengan runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M. Ahli hokum sunni berpendapat bahwa empat aliran hokum diatas yakni Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabillah sudah dianggap cukup jadi pintu ijtihad telah di anggap tertutup dan selalu memilih priode taglid (mengikuti pendapat mazhab )tanpa meneliti sumbernya. Taglid berljan terus dalam bentuk ini dalam waktu yang lama hingga munculnya suatu gerakan baru yang mendobrak tradisi kuno ini. Pada akhirnya realitas kini merupakan perbedaan besar antara orang menyukai taklid para moderenis yang menekankan reformisi-reformisi baru.
Moderenis dalam islam pada dasarnya merupakan suatu gerakan melawan taklid atau peniruan buata terhadap masa lampau yang menghendaki ijtihad. Menurut kaum moderenis , ijtihad adalah interprestasi rasiaonal terahadap Al-Quran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarng. Dan sejarah neo-ijtihad bisa dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M) yang menjadi pengikut mazhab hanabilah, dan juga terkenal tidak punya lelah menetang sikap menerima taklid dengan tanpa melihat dalil. Begitu juga jamal al-din Al-afghani yang terkenal dengan penyokong reformasi dalam islam yang menghabiskan hidupnya dimesir selama delapan tahun dan Muhammad Abduh  yang kemudian menjabat seorang mufti besar dimesir.

 
F.       Priode Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

G.     Priode Penjajahan Belanda dan Jepang.
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
-      Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
-      Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
-         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam[7].
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
       Kemudian dijaman jepang, Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
-         Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
-         Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
-         Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
-         Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
-         Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
-         Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
  
F.  Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
H.     Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita[8].

I.        Penutup
Berdasarkan dari perajalanan hokum islam yang telah pemakalah uaraikan, mungkin bisa di simpulkan, bahwa perajalanan hokum islam dalah bersifat dinamis sehingga dapat menjadi peneduh bagi masayarakat muslim, dalam kaitanya perkembangan hokum islam di tandai dari sejak pasca meninggalnya Nabi Muhammad, dimana para sahabat mualai mengenakan baju ijtihadnya dalam menghadapi segalah persoalan. Metode berijtihad mereka menggunakan qiyas, ijma’ dan penginterprestasian terhadap dua samber hokum islam meruppakan jalan terkhir untuk menetapkan hokum suatu masalah, kendati demikian mereka juga bervarian dalam menetapkan metode yang di gunakan akan tetapi dari situ hokum islam tidak keluar dari sumbrnya ya’ni Al-Quran dan As-sunnah.
Kemudian walau pun peletak metode ijtihad sangat terpaut jauh dari para intelek islam sekarang, akan tetapi metode itu tetap masi digunakan untuk menetapkan hokum pada saat ini, Indonesia contohnya dengan perlengkapan alat-alat pemerintahan menetapkan dan mencoba merumuskan hokum yang akan di sahkan untuk orang islam, kedatangan hukum islam ke tanah air juga mendapat tempat yang sama dengan hokum yang di bawah oleh belanda, karana belanda juga member porsi bagi umat islam untuk melakukan agamanya walau hanya sebagian kecil saja. Namun melihat perkambangannya ada sebagian dari daerah-daerah di ibu pertiwi ini mendapat porsi untuk menjalankan hokum islam secarah penuh, seperti aceh. Walaupun demikan pertimbnagan pemberian itu tidak berpengaruh banyak bagi kepemerintahan saat ini.



Oleh: agus salim


[1] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 49.
[3] .lihat. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/02/sejarah-hukum-islam.htm
[4] Baca Khudhori Bike, Tarikh Tasrik Al-islami. Hidaya Surabaya,hal 105-108..
[5] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 60.

[6] [6] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 62.

[7] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-sejarah//

[8] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-sejarah.
     

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda