Selasa, 26 Oktober 2010

Wadi’ah


Dalam kehidupan di masyarakat kita sering menemui pelanggaran-pelanggaran hokum. Seseoarang akan merasa kawatir jika menyimpan harata bendanya seperti barang dan uang dirumah.  sebab banyak pencurian dan perampokan yang semakin berkembang dan meraja lelah. Untuknya seseoarang membutuhkan suatu rasa keamanan bagi dirinya dan hartanya. Mereka mulai mengembangkan sistem penjaggaan harta bendanya dari pada menjaga dirinya. Yang kemudian islam mengatur sistem itu dalam akad Wadi’ah (akad titip-menitipkan). Upaya inilah yang dianggap aman agar harta benda tidak di usik orang, walaupun orang yang memiliki sedang tidak memperhatikan harta kepemilikannya, walaupun seorng pemilik dalam kedaan bepergian dan tak mungkin menjaga harta kepemilikanya.
Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tuntas masalah wadi’ah dan perkembanganya sebagai suatu transaksi yang menjamin keamanan harata benda,  baik berupa uang ataupun barang. Sebegai sistematisnya akan terlebih dudlu dibahas Wadi’ah secara definitive, dasar diperbisakan melakukan akad Wadi’ah sebagai alternative  keamanan harta benda tidak hilang, rukun dan syarat yang berkenaan dengan akad Wadi’ah dan juga bentuk perkembangan Wadi’ah di era ini.
A.      Penegrtian Wadi’ah.
 Penegertian Wadi’ah menurut etimologi adalah masdar dari lafath وَدَعَ   yang berma’na seperti lafath       سكن  yang berarti menempatkan. Sedang Wadi’ah  menurut terminologi sebagaimana  yang ketengahkan oleh Muhammad Al-zuhri Al-khorowi dalam kitabnya Anwar Al-masalik sebagai berikut:

[1]التَوْكِيْلُ الخَا صُ فِي حِفْظِ المَا لِ
 Yakni : Akad tawkil yang khusus untuk menjaga harta benda.

Menurut Darmansyah Hasibuan  apabilah sipenerima meminta imbalan maka akad itu disebut tawkil. Maka wajar dalam akad Wadi’ah si peneriama  Wadi’ah meminta imbalan karna dalam akad Wadi’ah ada unsur tawkil. Dan pendapat darmansyah lebih kuat ketika di kaitkan dengan definisi yang di utarakan Al-khorowi diatas. Karna Al-khorowi mendefinisikan Wadi’ah termasuk  akad tawkil yang khusus untuk menjaga harata benda.
Berbeda dengan definisi yang diungkapkan oleh ulama’ hanafi yang menonjolkan keikut sertaan seseorang dalam menjaga harta benda dan mengungkapkan praktek Wadi’ah pada awal bertransaksi seorang penitip dan yang dititipi. Sebagaimana berikut :

تسليط الغير علي حفط ما له صريحا او دلالة
Yakni:  Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan maupun melalui isyarat.
Hal ini misalnya seorang berkata pada orang lain “saya titipkan sepeda saya ini pada anda” dan orang itu menjawab “ya saya trima”  maka sempurnahlah akad Al-Wadi’ah, atau seoarang menitipkan kopyah pada  seseorang dengan mengatakan “saya titipkan kopyah ini pada anda” kemudian orang yang dititipi tidak menjawab hanya diam saja maka di anggap sah   (    يدل علي نعم     السكت) tapi kurang sempurnah.
Sadang Wadi’ah menurut Syafi’I Antonio adalah titipan murni dari satu pihak baik invidu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan harus di kembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dan pada perkembanganya Wadi’ah menurut Bank Indosesia adalah akad penitipan barang atau uang anatara dua pihak yang mempunyai barang atau unag dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan , keamanan serta keutuhan barang. Dari definisi yang di kemukakan oleh Bank Indonesia adalah yang paling lengkap unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam akad Wadi’ah yang mana nanti kami singgung ketika membahas tentang syarat dan ketentuan Wadi’ah. Selain itu tujuan akad Wadi’ah juga  disinggung.

B.      Dasar Hukum Wadi’ah.
Dalam masalah wadi’ah ulama’ sepakat bahwa landasan hukum wadi’ah adalah Al-quran. Dalam hal ini Allah menyinggung melalui sabdanya surat an-nisa’ :[2]

اِنَّ الله يَاْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُ وْا الاَمَنَا تِ اِلَي اَهْلِهَا....الآ ية
Artinya: sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…………..(QS. An-nisa’. 59)

Ayat ini turun berkaitan dengn penitipan kunci ka’bah sebagai amanah Allah kepada Ustman ibnu tholhah seorang sahabat nabi.
Dalam surat lain Allah juga menyebutkan tentang orang yang di beri amanah dan amanah itu harus di sampaikan kepada pemiliknya.

فَلْيُؤَدِّي الَّذِي اؤتُمِنَ اَمَا نَتَهُ .....………
 Artinya: …………Hendaklah yang dipercayai itu mtnunaikan amanah……………..(Qs.Al-baqoro.283)
Sedang Nabi juga perna menyinggung tentang amanat yang harus disampaikan. Sabda beliau:

اَدَّالاَمَا نَةَ اِلَي مَنْ اِئْتَمَنَكَ وَلَاتَخَنُ مَنْ خَا نَكَ
Artinya:  Serahkan amanh orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu menghinati orang yang menghianatimu.
Dengan ayat Al-quran dan Al-hadist diatas ulama’ fiqih sepakat mengatakan bahwah akad Wadi’ah hukumnya bisa dan disunnahkan dalam rangkah saling tolong menolong antar manusia. Parah ulama’ mengatakan bahawa akad Wadi’ah adalah sudah menjadi ijma’ amali bagi umat islam. Tak satupun dari ulama’ menyangkal ataupun mengingkari kebisaanya. Dengan demikaian tak ada kekawatiaran untuk melakukan transaksi titip-menitip atau Wadi’ah.

C.      Rukun Wadi’ah.
Rukun Wadi’ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalam transaksi Wadi’ah, dan juga menyebabkan  terjadinya akad Wadi’ah. Oleh karnanya semua rukun Wadi’ah harus ada jika tidak ada meka tidak akan terjadi Wadi’ah.
  Rurkun Wadi’ah menurut ashab safi’i  ada empat sebagaimana berikut[3] :
1.      Orang yang dititipi barang(مَوْدِعٌ). Orang yang dititpi barang , jika orang ini merusak atau menghilankan barang maka orang ini harus mengganti rugi barang yang dititipkan oleh orang menitipkan barang. Begitu juga orang yang dititipi barang (مَوْدِعٌ kedua)  oleh orang yang dititipi baran مَوْدِعٌ )   pertama(, dia juga harus mengganti barang yang dirusakan atau dihilangkan ditanganya. Dan syaratnya harus jelas dan baik. Sedangkan orang ini disebut custodian (orang yang merima pelayanan jasa) dalam istilah perbankan (مَوْدِعٌ).
2.      Orang yang menitipkan barang(وديع) . orang menitipkan barang adalah orang yang memiliki hak atas barang atau Orang mempunyai kekuasaan atas barang.
3.      Barang yang dititipkan .(وَدِيْعة)  barang yang dititipkan itu bisa uang atau barang yang dapat dan sah untuk di titipkan menurut syara’. Jadi dengan demikian jika ada seorang menititipkan arak atau barang yang tidak di benarkan syara’ tidak bisa menitipkan atau menerima titipan. Dan pada perkembanganya yang bisa dititipkan tak hanya uang dan barang. Dalam bank konfensional dikenal istilah savety box guna menyimpan barang nasabah dan juga dikenal istilah dokumen untuk urusan Saham, Obligasi Bilyet Giro, Surat Perjanjian Mudhorobah dll.
4.      Selanjutnya adalah transaksi (صِيْغَة). Transaksi adalah ungkapan antara dua belah pihak untuk melangsungkan akad tersebut. Maka dengan demikian sighot mengandung dua unsur yakni ijab (indikasi menyerahkan) dan juga qobul (indikasi menerima ). Dan shighot ini tidak harus menggunakan ucapan saja akan tetapi bisa juga dengan isyaroh diam atau tulisan. Hal ini seperti halnya transaksi perbankan yang hanya menggunkan tanda tangan atau buku taplus.

Ulama hanafiyah menyatakan bahwa rukun Wadi’ah hanya satu yaiatu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik , seperti “saya titip sepeda ini pada anda “), dan qobul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti saya terima titipan sepeda anda)[4]. Karena menurut hemat penulis ulama’ hanafi hanya mengangap penting shighot yang di ungkapkan kedua orang bertransaksi , olehnya tidak mempertimbangkan unsur lain yang memang itu pasti harus ada jika tidak ada namanya bukan nitip akan tetapi hanya ngomong.

D.     Syarat-syarat wadi’ah[5].
Menurut hanafiya menyatakan bahwa yang menjadi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah harus  yang orang berakal. Anak kecil yang telah berakal dan dizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi Al-wadi’ah maka hukumnya sah mereka tidak mensyaratkan baligh dalam persolan Al-wadi’ah. Akan tetapi anak yang belum berakal atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya, seperti orang gila tidak sah nelakukan Al-wadi’ah.
Sedangkan menurut jumhur ulama’, pihak-pihak yang melakukan transaksi Al-wadi’ah disyaratkan telah baligh, berakal dan cerdas karna akad Al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh  sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak di benarkan melakukan transaksi wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun orang menerima penitipan barang. Disamping itu jumhur ulama’ juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas tidak sah untuk  melakukan transaksi wadi’ah.
Syarat kedua akad wadi’ah adalah bahwa titipan itu harus jelas dan bisa dikusai (qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu bisa diketahui identitasnya dengn jelas dan bisa dikusai untuk dipelihara. Apabilah seorang menitipkan ikan yang ada dilaut atau disungai sekalipun ditentukan jenis jumlah dan identitasnya, hukumnya tidak sah. Karana ikan itu tidak bisa dikuasai oleh orang yang dititipi. Menurut ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap penting karana terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang mungkin timbul atau barang itu hilang selama dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi, apabila hilang atau rusak maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban diamahkamah[6].
E.      Macam  Wadaiah.
Transaksi wadi’ah termasuk akad wakalah. Maksudnya pemilik asset mewakilkan pada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbisakan untuk memanfaatkan barang atau uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif  maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang atau uang itu milik mudi’   (penitip).dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi’ah yaitu.
a.      Wadi’ah Ad al-amanah
Wadi’ah yad al-amanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima tdak diperkenankan menggunakan barang atau uang tersebut dan juga tiadak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilngan yang bukan disebabkan atas kelalainnya dan faktor-faktor diluar batas kemampuan[7].
ليس علي المستودع غير المغل ضمان 
Artinya:Orang yang dititpi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi.
Karana menurut ulama dalam kaitan wadi’ah yad ini mengatakan bahwa barang yang berada ditangan orang dititipi bersifat amanah bukan dhomanah. Jadi barang atau uang rusak atau hilang diluar kemapuan dia untuk menjaga maka maudi’ tidak mengganti rugi. Akan tetapi jika kerusakan atau kehilangan atas barang atau uang karna kelalain yang disengaja maka dia harus mengganti.
b.      Wadi’ah Ad-Dhomanah.
  Wadi’ah Ad-Dhomanah akab penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan izin atau atanpa izin bisa menggunakan uang atau barang dapat memanfaatkan dan bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehingan barang atau uang titipan tersebut. Hal ini sesuai hikaya tentang nabi sebagai berikut[8]:
Diriwayatkan dari Abu Rafii bahawa Rasul SAW. Perna meminta seseorang untuk meminjamkan seekor onta untuk berkurban, setelah selang beberapa waktu Rasul SAW meminta Abu Rafii untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya tapi abu Rafii kembali kepada Rasul SAW seraya berkata , “ya Rasul,untah yang sepadan tidak kami temukan yang ada hanya unta besar dan berumur empat tahun”. Rasullah SAW, menjawab “berikan itu karana sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar”(H.R Muslim).
Wadi’ah dalam prespektif pelaksanaan perBankan islam hampir bersamaan dengan Al-qradh pemberian harta atas dasar social untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga sama dengan Al-iddikrar yakni menyisikan seabagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Semua sama-sana akad tabarru’ dan perbedaanya adalah pada orang yang terlibat didalamnya dimana dalam wadi’ah pemberi jasa adalah mudi’ sedang dalam al-qiradh adalah muqridh.
H.           Aplikasi Dalam Perbangkan.
Keynes mengemukan bahwa orang membutukan uang karna: Transaksi,Cadanagan Dan Investasi, sehingga perbangakan menyesuaikan dengan Giro, Deposito dan Tabungan. Sementara itu pada bank syari’ah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi’ah (tabungan ),namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro dan ada yang seperti deposito. Dilihat dari sumber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi’ah dapat dibagi kedalam wadi’ah jariyah atau tahta tholab dan wadi’ah iddikariyyah atau attaufir. Kedunya masuk kedalam titipan biasa
Wadi’ah istimariyah (titipan investasi ) seperti hanya wadi’ah terbagi atas dua jenis maka titipan investasi ini pun terbagi atas dua bagian yakni General Investemen (investasi umum) dan special investemen (investasi khusus). Yang kedua jenis ini mempunyai perbedaan yang teretak pada shahib Al-amanah dalam praktek penginfestasi. Sesusai dengan wadi’ah di atas  wadi’ah yad Al-manah, maka pihak yang menerima titipan tidak bisa menggunakan dan memanfaatkan uang dan barang yang ditipkan tapi harus menjaga sesuai dengan kelaziman. Pihak penerima penitipan dapat membebankan biayah kepada penitip sebagai biyah penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipan bahakan dia dibebenkan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa pihak perbangkan.
Adapun wadi’ah dhomanah  pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang di hasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank dan juga pihak bank juga menanggung semua kerugian yang akan terjadi. Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipanya.walaupun demikian pihak si penerima pennitipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut tidak dialarang untuk memberikan inesiatif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan juga jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal presentase secara edvenc. Sebagaimana hal ini difatwakan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan bahawa ketentuan umum giro berdasarkan wadi’ah iayalah[9]:
1.      Bersifat titipan.
2.      Titipan bisa diambil kapan saja(on call).
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian.yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan bedasarkan wadi’ah adalah sebagai berikut:
1.      Bersifat simpanan.
2.      Simpanan bisa diambil kapan saja(on call). Atau berdasarkan kesepakatan .
3.      Tidak ada imbalan yang di disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang besifat sukarela pihak bank (DSN) No: 01/DSN-MUI/VI/2000.

I.                    Penutup.
Dalam praktek perbankan syari’ah kita bisa liahat dengan jelas bahwa hampirsemua praktek wadi’ah telah diepnuhi, wadi’ah yang merupakan amanah bagi orang yang dititipi, dan barang atauuang tetap menjadi hak milik orang yang menitipkan. Kapan saja pemilik membutuhkan bisa mengambil haknya kapan dia mau. Setelah itu ketentuan yang berlaku dalam wadi’ah telah kita jumpai dalam perbankan syari’ah Indonesia daan juga prosedur dan kegiatan perbankan itu disesuaikan oleh Dewan Syaria Nasiaonal ataupun Majelis Ulama’ Indonesia. Oleh karana itu produk-produk bank syari’ah secara legal beroprasi sebagai alternative bank isalam. Bagi orang islam yang takut dan kawatir tentang ribah bisa menitipkan uang atau barang pada bank syari’ah.









[1] Muhammad Al-zuhri Al-khorowi. Anwar Al-masalik. Hidayah, surabaya
 Hal:176
[2] Dr. H. Nasrun Harun, MA , Fiqh Muamalah. Gaya media Pratama.cet 2. Jakarta. Hal.245.
[3] Thuhfath Al-thulab
[4] Dr. H. Nasrun Harun, MA , Fiqh Muamalah. Gaya media Pratama.cet 2. Jakarta. Hal.246.

[5] Ibid. hal.246
[6] Ibid.hal. 247
[7] Blogsport Darmansyahhasibuan@yahoo.co,id
[8] Ibid.
[9] Ibid.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda