Kamis, 24 Februari 2011

Sidang Para Bocah

Siang itu seorang pemuda parubaya akan memimpin sebuah sidang musyawarah besar. Acara yang telah di canangkan setengah bulan yang lalu itu merupakan yang pertamakalinya. Dia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa memabawa musyawarah itu menjadi ajang diskursus yang sukses.
Setibanya di ruangan sidang dia meliahat dan sedikit terkaget karena belum ada peserta yang datang. Dia keluar dan melihat langit sudah tertutup awan hitam bertanda akan turun hujan. “ mana ketua panitia?” dia mencoba mencari sebuah informasi agar menjadi inspirasi dalam kebijakannya nanti. “ ketua sedang melobi pimpinan sekoalah” seorang panitia menjawab pertanyaanya. Pemudah tadi menghelah nafas sebenatar dan mencobah mengalihkan fikiranya sambil meliahat paniatia mempersiapakan ruang sidang. Dia duduk dan mengambil HPnya seperti mengetik sesuatu di kolom sms HPnya. Beberapa menit kemudian terdengar suarah yang dia kenal suarah itu. Dan menoleh ke bebelakang, dia menemukan pandangan bahwa yang datang adalah ketua panitia.
“Gimana ini teman-teman sudah dilobi lagi?” sambil dia jabatkan tanganya ke pada ketua panitia itu
“Suda, cuman karena cuaca mau hujan sperti ini mungkin akan menghambat mereka”. Sautnya sambil mendenguskan nafas yang masih memburunya.
“oke kita tunggu saja sampai beberapa menit lagi” kata pemudah itu.
Sebagian panitia masih berjajar diteras ruang sidang menunggu peserta sidang yang belum kunjung datang, gemuruh angin mengusik semua penjuru, mengusir dialog-dialog kecil yang tadi bersautan behenti tak ada lagi. Semua harus menekan dalam-dalam suaranya agar terdengar siapa yang diajak berdialog. Ditengah-tengah itu berduyun-duyun peserta datang dan menempati kursi ruang sidang. Kemabali lagi pemudah itu melobi memberi kebijakan jika lima belas menit lagi peserta juga belum datang sidang tetap harus dimulai.
“Oke kita sepakati saja, jika lima belas menit peserta tidak juga datang kita tetap memulai sidang ini” saut pemudah tadi.
Mereka masih setia menunggu peserta lain , sepertinya hujan juga sudah redah hanya sedikit grimis yang masihh turun. Sebagian kursi sudah terisi peserta perempauan, begitu juga peserta laki-laki. Nampak raut waja yang kesal bercampur kantuk menghinggap diwajah-wajah panitia begitu juga pemudah itu. Entah apa yang difikirkan, matanya memandang ke dalam ruangan yang masih hanya beberapa orang saja. Sesekali melihat ke tangga bawa setaip kali terdengar suara seretan sandal atau sepatu yang menggesek ke anak tangga. Biar saja semua berjalan dalam renta waktu-waktu yang berjalan dibawa waktu yang tak pasti.
“Kita tak mengharapkan seperti ini, ini bukan salah kita” terdengar suarah ketua paniatia berdialog dengan salah satu panitia yang melintas didepanya.
Semua suda siap semua, konsumsi juga sudah ada di ruang belakang. Sound sistem juga suda berdegub keras memekakan telinga sedari tadi di test mana yang kuarng mantab suaranya, bangku sedikit terisi hanya beberapa saja, terlampir juga beberapa draf AD/ART dan juga GBHO, entalah siapa yang harus di keluhkan, prediksi peserta yang diperkirakan sebanyak tuju puluh orang, kini hanya sekiatar empat puluh orang.
“Sudalah kita mulai saja”
“kapan lagi mereka akan datang, sedangakan sekarang sudah jam satu lebih”. Pemudah tadi menyerukan pada ketua panitia.
Pemuda tadi menuju kepodium yang sedari tadi kosong, bersamaan dengan salah seoarang yang ditunjuk sebagai setering comite dalam acara itu dan ikut juga sekjen disamping sebelah kirinya.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu……………!
“Ma’af !, Beribuh kali ma’af kami ucapkan kepad perserta musyawarah karena sudah menunggu lama”. Nampak gugup pemudah tadi mengucapakan ma’af kepada peserta musyawarah. Pandangan pun mengarah kearah podium.
“Kita tidak merencanakan hal sepeerti ini, kita juga tidak mau acara kita seperti ini akan tetapi kenyataanya sepereti ini”. semua peserta menganggukan kepela, seperti mengerti apa yang dimaksud oleh pemudah itu.
“Ini memang baru pertama kalinya kita sebagai pemula memang kalah dibandingkan mereka yang suda beberapa kali melakukan sidang seperti ini, mudah-mudahan kita bisa mempelajari hal ini dan dapat lebih baik lagi” semua pandanga peserta menuju kepada pemudah tadi. dia memulai pendahuluan dalam sidang itu dan pada akhirnya masuk kepada tata tertib sidang yang nanti juga membahas isi sidang.
Draf yang tadi di persiapkan sudah di sebar dan berada pada tangan peserta masing-masing, dibacakanya tata tertib sidang yang akan di pimpinya. Salah satu seorang peserta pun memberi intruksi ditenga pembacaan tatatertib itu.
“ma’af mas kita semua sudah memegang draf yang telah disediakan, disini terdapat sekitar dua pulu lembar, apa tidak lebih baiknya kita baca dulu saja sendiri nanti yang tidak bisa dialaksanakan atau kurang relevan denga kondisi kita, kita delet?”
“Ya sekarang saya tawarkan perlu atau tidak pembacaan tata tertib sidang ini” pemudah itu menanggapi intruksi itu
Setering comite yang duduk di sebela kirinya pun langsung angkat suara untuk menanggapi hal tersebut “ya trimakasi mba’ sebelumnya saya mohon ma’af karena bukan seharusnya saya menjawabnya, seperti ini lo mba’ dalam draf ini memang harus di bacakan terdahulu tata tertib guna terlaksananya sistematika berjalanya sidang yang kita laksanakan. Perjalanan sidang ini bisa tertib dengan cara mengikuti tata tertib ini, sedang nanti teknis sidang pembenahan dan juga pembaharuan Draf terserah bagaimana dibacakan satu persatu oleh pemimpin sidang atau dirapatkan perkomisi, makanya kita baca dulu saja tata tertibnya setelah itu terserah pimpinnan sidang memilih teknisnya”jelas setering comite yang duduk di sebelah pemudah itu.
Namapak tangan pemudah itu mejawil tangan setering comite seraya menghentikan pembicaraan setering comite.
“Ya makanya saya tawarkan perlu dibaca atau tidak Draf tata tertib sidang ini” tambahnya lagi.
Setering comite pun semakin tidak mengerti apa yang diinginkan dan maksud pemudah itu, tapi setering comite diam saja sambil berjalanya sidang. Peserta yang tidak tahu-menahu tentang sidang itu pun mengiyakan tentang tidak dibacakannya tata tertib sidang, sepertinya mereka lebih mendahulukan lekas selesainya sidang itu bukan pada pemantapan AD/ART dan GBHO yang harus disusun rapi dan dapat dijalankan oleh kepengurusan BEM baru. Ditenga-tenga sidang pembacaan draf itu ada yang mengusulkan untuk tidak di baca lagi sebagaimana yang disepakati tadi, tapi lagi-lagi pemuda itu masih membaca lembaran-lembaran draf itu. Siadang semaki kacau karena perdabatan mulai timbul sesuai dengan keinginan masing.
“maaf pimpinan sidang yang saya hormati” seorang memotong pembacaan pemudah itu.
“Bagaimana kalau kita langsung saja menuju kepada seson terakhir, ya’ni pemilihan ketua BEM?”
Seorang peserta mengiyakan “ya saya setuju dengan usulan tadi, kita tidak perlu membacakan GBHO dan GBHK, terlalu rumit, terlalu dini untuk kita terapkan di BEM kita”
“betul” seorang lagi menambhakan.
Wajah ketua setering comite pun Nampak merah.
“bukan masalah terlalu rumit atau tidaknya sebenernya tujuan kita adakan acara seperti ini, akan tetapi lebih mendewasakan kita sebagai gerakan militan pertama yang mengawali ide ini di kampus kita, kalau anda-anda merasa tidak perlu kapan lagi kita berfikir sebagaimana mahasiswa-mahasiswa yang lain”
Setelah itu setering comite pun meninggalkan forum entah kemana, semua orang terpelongo melihatnya. Seterusnya pimpinan sidang pun masih di meja sidang, berbelit kesana berbelit kesini tak tau kemana arah sidang. Sering sekali mengikuti pendapat audient sehingga sering sekali ide-idenya bertabrakan tak tau mana arahnya yang di sepakati.
Wajah-wajah audient lasu peluh. Tak ada ide yang dapat masuk dan keluar dari pengentasan masalah. Semua ingin menang semua ingin dapat perhatian penuh dan menginginkan pendapatnya yang di harus digunakan.
“mas sebenarnya anda ngomong apa si dari tadi?, coba lihat audient sudah tak memperhatikan lagi, mereka muak” seorang peserta perempuan menyelah
“ya suda begini saja, kita lansung saja memilih ketua BEM”
“ketua BEM yang mana mau kita pilih?”
“betul calon mana yang mau kita pilih, bursa calon yang sudah ada tidak hadir, padahal GBHO anda mengatakan calon ketua harus hadir”
Pipinan sidang kembali merundukan kepala. Semua bersaut, semua ricuh, peluh menetes dari dahi pimpinan sidang. Lagi-lagi ketimpangan itu membrondong otak panasnya. Tak lama kemudian Ketua setering Comite pun datang. Tapi kedatangannya tak lagi menempati kursi yang besanding dengan pipimpinan sidang. Di lebih memilih duduk di belakang.
“ya sudah pemilihan saja langsung ” saut Ketua Setering Comite sambil ke depan memegang mike
“kita akan memilih nama calon yang ada disini, itu pun kalau disetujui, karena yang ada hanya calon dari perempuan”
“setuju…….! Setuju…….!” Riuh lagi
“saya tidak setuju” kata perempuan yang tercantum namanya di papam pemilihan
“kenapa tidak setuju”
“ kita-kita cewek, gerak kita tidak bebas, tidak bisa keluar, tidak bisa maksimal nanti bekerjanya”
Tertegun lagi kepala ketua stering comite itu.
“inilah doktrin kolot yang sering tidak bisa kita hindarkan, sering sekali kita berbentur dengan idealism-idealisme yang di anggap kebanyakan orang islam. cobalah kita melihat sejarah, bukankah ratu-ratu juga memegang jabatan pemerintah di belahan dunia barat sukses?. tapi sudahlah, kalua memang tak mau. Mau tidak mau kita akan memilih orang yang tidak ada yang telah tercatat sebagia calaon Ketua BEM”
“bagamana kalau kita munculkan lagi busrsa nama calon Ketua itu”
“Setuju…..!setuju…!” serentak dari peserta perempuan dan laki-laki
“saya tidak setuju, saya sudah mengenal calon yang terpilih, mereka punya kemampuan lebih” seorang peserta laki-laki menyangkal
“ya kalo punya kemapuan tidak punya kemauan dan loyalitas sama saja mas!”sauat dari peserta laki-laki
Laki-laki itu diam, sambil menatap kearah depan.
“ya sudah kalau anda lebih setuju dengan pemilihan ulang calon kita pilih sekarang”
“anda sendiri” kata seorang peserta
“iya ….. andalah yang pantas!” saut banyak audient menunjuk setering komete itu
“tidak bisa saya, saya sudah kerja kemaren untuk mensukseskan acara ini yang lain saja”
“anda harus mau, karena ini merupakan suarah orang banyak”
“ya sudah begini saja kita kembalikan kepada calon yang tidak datang, saya merasa belum siap. Saya tidak mampu, kalaupun nanti mereka tidak bertanggung jawab itu urusan mereka, karena kemaren ketika kami ketemui mereka suda siap dan akan datang”
“ya begitu saja” cetus lelaki yang tadi menolak dan mengakui kemampuan para calon
“saya tidak setuju, mereka tidak mempunyai loyalitas dan tanggungnjawab saya kira. Buktinya mana mereka yang kemaren telah berjanji mau datang kemari?” sautnya lagi dengan suara yang tadi menyetujui harus ada pemilihan ulang
Setering comite pun terpaku, ketidak sedian dia menjadi calon menyeret permasalahan yang panjang. Tapi kebesedianya menjadi calon juga akan menimbulkan kecemburuan social. Kepala perguruan tinggi itu mempunyai sinisme yang akut, diskriminatif yang membatu. Setering Comite menawarkan calon ketua kepada orang yang di sayang oleh kepala sekolah agar kinerja bagus. Sedangkan setering Comite yang ini menjauh karena merasa di diskriminasikan dengan adanya pilih kasi kepala itu. bukankah lebi baik dia tidak mencalonkan diri agar yang demikian menghilankan presepsi ingin mendekati kepala sekolah itu?. kembali tertegun inilah mungkin yang bisa di lakukannya agar mahasiswa di sekolah ini tidak sama seperti sekolah SMA tau MA. Tapi sungguh nasibmu kawan ini semua tak ada guna, ide-ide emasmu akan berbentur dengan sifat diskrimiantif kepala sekolah itu. akan menjadi sebuah angan belaka kau kuliah sebagaiman perkulihan-perkulihan di luar. Buat kegiatan sendiri yang seperti yang ada di luar akan tetapi tidak bergantung pada intansi dimana kau kuliah biar kau tidak terusik dengan sinisme kapala itu. to mengaharumkan nama sekolahmu tidak harsu mausuk dalam organisasi bukan?.
Bisikan-bisikan itu seperti menampar hati Ketua setering comite itu. sebab itulah dia tidak mau mencalonkan diri sebagai ketua BEM. Mungkin acara inilah yang menjadi akhir dari ide-idenya untuk sekolah ini. Dan pada saat itulah mempunyai tekat pemikiranya akan di simpan kedalam hati yang risau dengan kebimbangan-kebimbangan yang tak perna habis. Namun ada satu yang bisa menenangkan kegundahan itu. hanya Kiai Ach. Hasan dan Kiai Ach. Husain lah yang bisa membuat bibir tersenyeyumkan dan melesungkan pipinya. Bukan kepala sekolah bukan organisasi yang basi tak bertepi.
Cerita-cerita tentang sidang pun telah kabur terbawa lamunan-lamunan itu. sering pulah terucap kata setiap akan tidurnya
kalau bukan karena kau
aku tidak akan disini
kalau bukan karena janjimu didepan mereka
aku juga tidak akan disini
tapi tolong tunjukan arah itu
arah kemanfaatan ilmuku
karena aku pemuja tuhan dan pemikiranmu
Sesekali sidang-sidang itu pun terlintas di benaknya saat malam sidang itu akan dialkukan. Teringat lagi tentang kepala sekolah itu terhadapnya, seperti kutukan para penduduk pulau salomon mengutuk pohon-pohon yang ingin ditumbangnya, Air mata pun mengalir kepipi “alangkah pedihnya dibenci orang yang dihormati”. Bayang-bayang dan ksediahn itu terhenti ketika Teringat wajah dua kiyai yang dipujahnya. Terus berganti, terus terlintas dan takan berkhir.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda