Rabu, 26 Januari 2011

Banding Dalam Peradialan Agama

Dalam berperkara didepan pengadilan baik itu pengadilan agama atau pengadilan umum pastilah tidak semua orang puas akan keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim sang penegak hukum. Terkadang ada yang merasa dirugikan dengan keputusan-keputusan yang diputuskan oleh hakim terhadap siberperkara, namun ada pula yang merasa puas terhadap keputusan hakim yang di putuskan. Kemungkinan ketidak puasan dan juga adanya merasa dirugikan haknya sangat mungkin sekali, karena hakim adalah manusia yang sama dengan orang berperkara yang mempunyai kekhilafan dan juga mempunyai ketidak sempurnaan. oleh karena itu perlunya dilakukan Banding di pengadilan yang lebih tinggi dari pada pengadilan tingkat pertama.
A. Pengertian Banding.
Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar ketetapan atau putusan yang dijatukan pengadilan agama diperiksa ulang dalam tingkat Banding oleh Peradilan tinggi agama, karena belum puas dengan pengadilan tingkat pertama .
B. Kajian Historis dan Hadist.
Dalam sejarah peradialan islam memang tidak pernah kita ketemui istilah Peradilan tingkat pertama dan Mahkama Agung sebagai puncak Peradilan agama. Sehingga kita juga tidak pernah mendengar istilah Banding dan Kasasi dalam Perdilan islam kuno. Hal ini selaras dengan kutipan Asadullah Al-faruq terhadap pendapat Abdul Qodim Zallum yang mengtakan “hukum acara perdata islam tidak mengenal Mahkama Banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruhnya berbentuk pengadilan dan memutuskan perselisihan mempunyai kedudukan yang sama. Apabila seorang qodhi memutuskan perkara maka putusanya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh qodhi lain kecuali keputusan tersebut bertentangan dengan nash yang qath’i (dasar yang jelas) dari kitabullah, sunah rasul, ijma’ sahabat. Namun melihat perkembangan sitem kenegaraan yang semakin bervarian. Negara-Negara seperti Indonesia menggunakan Peradilan Agama sebagai tingkat pertama untuk menangani Masalah diPeradilan agama sereprti Perkawinan, Wakaf, Mawaris, Zakat dan Mahkam Agung berkedudukan sebagai Peradilan tingkat tinggi. Olehnya Negara seperti Indonesia ini mengenal istilah Banding dan Kasasi dalam melaksankan lembaga Peradilannya.
Walaupun dalam sejarah islam tidak ada lembaga seperti di Indonesia, tapi bukan berarti system yang digunakan oleh Indonesia ini tidak sesuai dengan prinsip islam yang mengedepankan keadilan bagi semua umat, dan bukan tidak mempunyai dasar jika dilakukan Banding. Dalam hadist dibawa ini jika kita cermati maka akan sesuai dengan system Peradilan kita. Yang mana Peradilan merupakan sebuah media dimana seorang yang berperkara dapat menemukan hak-haknya, maka Peradilan harus berupaya se ideal mungkin untuk menegakan keadilan, dan karena hakim juga manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk salah dan berlaku diskriminatif terhadap siberperkara. Dengan demikian untuk menghilangkan itu semua Indonesia memperbolehkan bagi kedua orang yang berperkara untuk melakukan Banding atau Kasasi guna mempertahankan haknya.

Nabi sendiri bersabda tentang kelemahan sipenegak hukum dalam hadistnya Nabi bersabda:
حَدَثَنِيْ حَرْمَلَةَ بِنْ يَحْيَ اَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بِنُ وَهَبٍ. اَخْبَرَنِيْ عَنْ يُوْنُسٍ عَنْ اِبْنُ شِهَابٍ اَخْبَرَنِيْ عَنْ عُرْوَةَ بِنْ الزَبِيْرٍ عَنْ زَيْنب بنت ابي سلمة عن ام سلمة زوج النبي صلي الله عليه و سلام ان رسول الله عليه وسلام سمع جلبت خصم بباب حجرته فخرج اليهم فقال(( انما انا بشر . وانه يآتني الخصم , فلعل بعضهم ان يكون ابلغ من بعض.فاحسب انه صا د ق فاقصي له , فمن قضيت له بحق مسلم , فانما هي قطعة من النار. فليحملها او يذرها))
Artinya: Sesunggunya saya adalah manusia biasa, yang juga akan datang padaku pertikaian, siapa tahu sebagian dari mereka ada yang lebih tahu dari sebagian yang lain, kemudian saya mengira bahawa dia benar, maka barang siapa yang saya putuskan perkaranya diatas hak orang muslim maka keputusan itu keputusan dari neraka, ambilah atau tinggalkan keputusan seperti itu.

Hadist yang mempunyai maksud yang sama tapi beda lafath mengatakan:
حدثنا يحي بن يحي التميمي . اخبرنا ابو معاوية عن هشام بن عروة عن ابيه عن زينب ابي سلمة عن ام سلمة
قالت قال رسول الله صلي الله عليه وسلم " انكم تختصمون الي ولعي بعضكم ان يكون الحان بحجته من بعض فاقضي له علي نحو مما اسمع منه ومن قطعت له من حق اخيه شيئا فلا يآخذه. فانما اقطع له به قطعة من النار"

Artinya : Sesunggunya kamu berseteru menghadap kepadaku, barangkali sebagian dari kamu lebih benar sebab kehujahannya, kemudian saya memutuskan dengan apa yang saya dengar darinya. Dan barang siapa yang telah saya putuskan diatas hak saudaranya, maka janganlah kamu menganmbilnya, karena sesuatu yang saya putuskan itu merupakan keputusan dari neraka.
Komentar tentang lafath hadis diatas
 انما انا بشر: bahawa Nabi mengingatkan bahwa seorang tidak dapat melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata, kecuali oleh Allah di beri keistimewaan untuk melihat sesuatu yang tidak tampak. Dan diperbolehkan menggunakan kekususan itu untuk menegakkan hukum dalam memutuskan perkara. Sedangkam seorang hakim hanya dituntut untuk menghukumi yang tampak saja menurutnya, dan memperkuat dengan sumpah untuk menguatkan putusanya jika dirasa salah satu dari orang si berperkara berbohong atau mengatakan kepalsuan.
 :فمن قضيت له بحق مسل Maksudnya adalah bukan menjaga hak orang muslim dari orang kafir, karena harta benda kafir dzimi, kafir mu’ahad, dan orang yang murtad adalah sama dalam mendapatkan hak dimata hukum.
 :فانما اقطع له به قطعة من النار jika seorang menghakimi melihat yang tampak saja kemudian keputusanya bertolak belakang dengan dengan dengan sesunggunya maka keputusan itu akan membawanya kepada api neraka.
 : فليحملها او يذرهاkalimah ini adalah bukan berma’na Takhyir, akan tetapi berma’na Tahdid (menakuti) dan Waid (menasehati) sebagaman kalimah
فمن شاء فاليمؤمن ومن شاء فاليكفر .

Hadist ini dikemukakan oleh Nabi SAW. saat Nabi berada dirumah. Dan kemudian Nabi mendengar suara gadu di dekat rumah Nabi, tepatnya didepan pintu kamar beliau, kemudian Nabi keluar untuk mendamaikan kedunya, mereka semua mengungkapkan argumennya kepada Nabi untuk meminta kepastian hukum, dan Nabi pun menghukumi kedunya lalu Nabi mengutarakan hadist diatas, Nabi mengharap tidak ada diskriminasi antara yang kaya dengan yang miskin, si Beragama islam dan si Beragama selain islam. Semua mepunyai hak yang sama di mata hukum. Tidak ada pembeda anatra satu dengan yang lain.
Dan Nabi pada hadist ini mengakui atau mengajarkan tentang kelemahan seorang dalam menghukumi siberperkara, bahwa ada kemungkinan seorang hakim melakukan kesalahan dalam memutuskan perakara, bahkan Nabi sekalipun akan melakukan kesalahan sebagaiman sabda beliau “ jika seorang saya putuskan perkaranya diatas hak orang lain maka keputusan itu adalah keputusan dari neraka”. akan tetapi dalam perkara yang timbul pada Nabi saat itu, Nabi tidak salah memutuskan keputusannya, melainkan sabda beliau tersebut mengingatkan kita bahwa seorang hakim pasti mempunyai kesalahan, oleh karenanya wajar sekali jika seorang berperkara kurang puas terhadap keputusan yang di putuskan hakim jika kebenranya tidak dianggap.
Dalam sohih muslim hadis ini dibawa judul Al-Hukmu Bidhoher Wal Lahnu Bil Hujati ya’ni Hukum memutuskan perkara sebagaiman yang di ungkapkan para pihak. Sedangkan dalam Bughori Muslim terdapat pada Babu Man Qudiyah Bihaqi Akhihi Fala Ya’khudu. Yakni barang sipa yang memutuskan perkara diatas hak saudaranya maka jangan menirunya. Nabi menggambarkan dalam hadist ini andai saja keputusan Nabi atas dasar pandangan dhoher dan hanya memperhatikan petunjuk yang diutarakan saja, maka hal tersebut salah dan jangan pernah diikuti.
Selain itu isyarat yang dikatakan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib ketika diajukan kepadnya suatu perkara diyaman, iya berkata:

اَقْضِيْ بَيْنَكُمْ فَاِنْ رَضِيْتُمْ فَهُوَ الْقَضَاءُ وَاِلَا حَجَزْتَ بَعْضَكُمْ عَنْ بَعْضٍ حَتَي تَأْ تُوْا رَسُوْلَ اللهِ لِيَقْضِيَ بَيْنَكُمْ

Artinya.:“Aku akan memutusakan hukum (perkara) diantara kamu, maka jika kamu rela (menerimnya putusan itu) maka itulah putusan(nya), dan jika ternyata kamu tidak mau menerima, maka aku mencegah sebagian kamu (berbuat apa-apa) terhadap sebagian yang yang lain, sempai kamu datang kepada Rasulallah saw agar mengadili diantara kamu”
Kemudian setelah Ali mengadili mereka dan memutusakan hukum perkara yang mereka sengketakan, maka mereka tidak mau menerima putusan tersebut, dan pergilah mereka kepada Rasulallah saw, pada musim haji mereka mengajukan perkara mereka kepad Rasulallah saw, serta mereka pun menerangkan, bahwa Ali telah memberikan putusan hukum kepada mereka, tapi putusan itu tidak tepat dalam pandangan mereka, dan setelah Rasulallah saw . medengar keterngan mereka maka beliau membenarakan Ali dan beliau bersabda:

هُوماَ قَضَي بَيْنَكُم

Artinya:“ apa yang telah di putuskan Ali diantara kamu, itulah putusanya”

Perkara yang sepadan secara implisit bisa kita ketemukan pada masa Umar. Pada masa kholifah Umar adalah dikenal dengan masa keemasan pertama setelah Nabi SAW meninggal, beliau dapat memperluas ekpansi daerah Negara islam sampai kebebrapa daerah seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Kemudian pada Negara atau daerah masyarakatnya banyak menemukan perkara-perkara, kemudian beliu mengutus seorang hakim disetiap daerah yang berada pada naungan islam ini. Beliau mengankat Syuraih sebagai hakim di daerah kufah, Qais bin Al-as as-sahmi untuk daerah mesir, dan mengankat Abu Musa Al-As’ary sebagai hakim di Basroh. Semua hakim ini di pilih oleh saidina Umar atas dasar keahlinya, seperti Syuraih diangkat karena Umar mengetahui keahlinya, hal ini Umar mengetahui sendiri ketika Syuraih memutuskan perkara antara Umar sendiri dan salah seorang yang menjual seekor kuda, ketika dicoba kuda itu oleh umar, kuda itu kehabisan tenaga sehingga Umar pun mengurungkan niatnya untuk mebeli, akan tetapi sipenjual tidak setuju dengan pengembalian itu, dan kemudian Umar pun berkata “ kalau begitu harus ada orang yang menengahi kita” kemudian penjual tadi menunjuk Syuraih, kemudian Syuraih berkata “amirulmu’minin, ambillah yang suadah anda beli, atau kembalikan seperti waktu anada ambil. Dan pada suatu hari setelah Umar mengangkat Abu Musa al-As’ary beliau mengirim sebuah surat dalam potongan surat itu berisi “ suatu perkara yang sudah anda putuskan kemarin, dan dengan kesadaran batinmu hari ini hati nuranimu hendak mengadakan peninjauan kembali, jangan segan untuk kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu azali, dan mengoreksi kembali untuk suatu kebenran lebih baik daripada terus-menerus hanyut dalam kesalahan”. Ini menunjukan bahwa sehebat apapun seorang hakim sebagai penegak hukum dimungkinkan salah.

C. Kajian Undang-Undang.
Melihat sejarah dan melihat apa yang disabdakan oleh Nabi peristiwa Ali dan Umar adalah menguatkan kita akan perlunya Banding dalam pengadilan agama, Pasalnaya konteks peninjau kembali yang digariskan oleh Nabi dan Umar terhadap hakim tidak akan pernah terjadi lagi dierah saat ini, jalan keluarnya adalah dengan cara Banding. Keluar dari ketidak adilan jika dilakukan Banding. Banding adalah hak para sipengaju perkara atas ketidak adilan hakim tingkat pertama. Seandainya saja hakim sekarang menggunakan metode yang diungkapkan Umar, maka Peradilan dinegara ini akan dianggap tidak berwibawa, dan hakimnya dianggap tidak ahli. Kalau sudah seperti itu maka masyarakat akan tidak percaya dan tidak mau lagi berperkara di pengadilan karena kepercayaanya terhadap pengadilan sudah menurun untuk meneyelesaikan perkaranya. Hemat penulis anatara Banding dan peninjauan kembali pada Peradilan islam adalah bertujuan sama ya’ni mencari kebenaran, bedanya kalau masa Umar dengan satu hakim dan lembaga yang sama, akan tetapi sekarang dua hakim dan lembaga yang lebih tinggi dan hasil yang dicari sama yakni keadilan yang tidak dilaksanakan pada peradialan pertama.
Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan Banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak bersangkutan” , kecuali Undang-Undang menyatakan lain. Sebagaiman diatur organic dari Pasal 21 ayat diatas, kususnya untuk Peradilan Agama , ketentuan mengenai putusan pengadilan Agama yang disebutkan dalam Pasal 61 Unadang-Uandang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan agama Yaitu “ atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan Banding oleh yang berperkara , kecuali apabila Undang menentukan lain”.
Berlaku adil sebgaimana lamabang Peradilan yang disimbolkan dengan patung memgang neraca yang kedua piringnya berkedudukan sama adalah atribut yang melekat pada diri hakim sebagai pejabat Negara yang ditugasi untuk menegakan hukum dan keadilan. Namun demikian hakim adalah insan biasa yang tidak terlepas dari kekhilafan dan kesalahan , meskipun ia berusaha menghindar dari kesalahan dan kehilafan tersebut. Karena itu dalam pelaksanaannya, tidak semua putusan yang dijatuhkan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya mutlak adil dan benar , tetapi masih terbuka kemungkinan ada orang merasa bahawa putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara yang diajukan pihak berperkara tidak memenuhi rasa kedailan. Atas pemikiran itulah kiranya dalam dunia peradian perlu adanya pengadilan tinggi agama dan mahkama agung sebaggai lembaga Peradilan yang diamaksud untuk mengadakan koreksi terhadap putusan hakim Peradilan bawahanya yang dikira tidak adil atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
D. Prosedural Banding
Sebagaimana kita ketahui Banding merupakan proses pengadilan tingkat kedua yang bertujuan agar si pengaju Banding dapat memenuhi haknya yang tidak didapat dalam Peradilan tingkat pertama. Akan tetapi tak semua perkara bisa diajukan Banding. Pengecualian ini sebagaimana terdapat dua kategori . Pertama perkara yang bersifat pinansial sebagaimana diatu dalam Pasal 49 huruf I Unadng-Undang Nomor 3 tahun 2006 tetang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tetang Peradilan Agama menganai ekonomi Syariah , maka perakara yang dapat diajukan Banding mengacu kepada setandart obyek tarperkara sebagaimana dlatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun. 1989 tentang Peradilan ulang dijawa dan Madura yaitu tidak kurang dari seratus rupiah. Kategori Kedua Adalah perkara yang dapat dilakukan Banding adalah perkara contentiosa, bukan voluntair. Jadi keputusan yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan Banding. Perkara dipangdilan Agama yang dikategorikan voluntair adalah.
1. Penetpan Ahli Waris (penjelasan Pasal 49 huruf d Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tetang atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
2. Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
3. Izin Kawin ( Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).
4. Permohonnan Penetapan Wali Adhol (Pasal 23 ayat 1dan ayat 2 kompilasi hukum islam jo.peraturan menteri agama nomor 2 tahun 1987).
5. Permohonan Penetapan Perkawinan (Pasal 50 s.d. 54 Undang-Undang nomor 1 tahun 1975 Pasal 107 s.d. 112 Kompilasi Humum Islam)
6. Penetapan Asal Usul Anak (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam).
Dengan demikian selain perkara yang diatur dalam perkara diatas di perbolehkan untuk mengajukan banding di peradilan Tingkat Tinggi Agama.

E. Tata Cara Banding dan Dasar Hukum.
Dalam buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Gemala Dewi mengatakan, bahwa tata cara Banding Berdasar pasal 7-15 Undang-Unadang No. 20 Tahun 1947 tetang Peradilan ulang jawa dan Madura, Maka tata cara permohonan Banding adalah:
a. Tegang waktu permohonan Banding:
1. 14 hari setelah putusan ucapan, apabila waktu putusan ucapan permohon Banding hadir sendiri di persidangan atau..
2. 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila pemohon Banding tidak ahdir pada putusan diucapkan dipersidangan.
3. Jika prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan dari pengadilan tinggi pada pemohon Banding (Pasal 7 ayat 3).
b. Permohonnan Banding disampaikan kepada panitra pengadilan yang memutuskan perkara Pengadilan Agama yang hendak diBanding.
c. Yang berhak mengajukan : 1) pihak beperkara.
2) kuasa setelah mendapat kuasa khusus.
d. Bentuk permintaan Banding: 1) dengan lisan
2) secara tertulis
e. biaya Banding di mintakan kepada pemohon bukan pada pihak termohon.
f. penitra petugas :
1. meregistrasi (mendaftar) permohonan.
2. membuat akta Banding.
3. melampirkan akta Banding dalam berkas perkara sebagai bukti dari PAT.
g. juru sita menyampaikan pemberitahuan Banding kepada pihak lawan.
h. penyampaian pemberitahuan (inzage) oleh juru sita:
1. selambat-lambat dalam tempo 14 hari dari tanggal permohonan Banding.
2. pemberitahuan (inzege) disampaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara.
i. penyampain memori Banding:
Memori Banding bukan syarat formal, seperti ditegaskan dalam putusan MA tanggal 14 Agustus Tahun 1957 No. 143K/Sip/ 1956.
1). Tenggang waktu mengajukan waktu Banding tidak terbatas.
2). Harus memberi tahu dengan relas adanya memori Banding kepada pihak lawan.
3). Harus memberitahu adanya kontra memori Banding kepada pemohon Banding.
Memori Banding, kontra memori Banding dan relas pemberitahuan dilampirakan dalm berkas perkara.
j. satu bulan sejak permohonan Banding, berkas perkara harus dikirim kePengadilan Tinggi (pasal 11 ayat 2 Undang-undang tahun 1947).

F. Pemeriksaan Tingkat Banding.
Pemeriksaan tingkat Banding adalah bagaimana proses yang dilakukan oleh peradilan tingkat tinggi, dalam hal ini :
a. Harus dilakukan berdasar perkara:
Pemeriksaan tingkat Banding dilakukan melalui berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, yaitu “ berdasar berkas perkara”.
b. Apabila dianggap perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan melalui proses:
1. Pemeriksaan tambahan berdasar sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir atau putusan ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan tambahan.
2. Pemeriksaan tambahan dapat dialukan sendiri oleh pengadilan tinggi agama (PTA).
3. Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang semula memeriksa dan memutus pada tingakat pertama.
4. Pemeriksaan tingkat Banding dilakukan dengan majelis: pasal 11 ayat 1 lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, di pertegas dalam pasal 15 Undang-Undang No. 14 tahun 1970.
Putusan pengadilan Agama yang dapat diBanding ialah putusan akhir yang sudah mengakhiri sengketa secara keseluruan. Dengan demikian perkara yang belum tuntas di putuskan oleh pengadilan petama tidak boleh diajukan banding.

F. Penutup.
Dalam islam memang kita sering mendengar bahwa “keputusan hakim terdahulu tidak dapat di ubah dengan keputusan hakim baru kecuali keputusan itu menyalahi nash, ijma’ dan Qiyas” tapi hal ini bukan mengindikasikan bahwa seorang tidak boleh mengajukan banding untuk mendapatkan haknya. Semua orang mempunyai hak keadialn dimata hukum. Walau nanti setelah di jatuhkan keputusan banding orang yang asalnaya menerima hukuman berat menjadi ringan. Namun bukan berarti keputusan-keputusan seperti itu tidak dilandaskan kepada UU. Keluar dari konteks suap atau subyekipitas seorang hakim seorang hakim dituntut untuk adil dalam semua keputusanya. Jika saja hakim sudah memberlakukan UU dan berlaku adil hemat penulis tidak ada pengaruh tentang dilakukan banding atau tidak dalam ranah keadilan nabi. Toh Nabi, Ali dan umar memberlakukan system banding dalam menangani kasus perdilan dimasa silam. Dari historis itulah bisa menjadi dasar pijakan diperbolehkanya permohonan banding bagi setiap manusia sebagai subyek hokum naupun Obyek hokum. Kiaranya hanya Allah yang tahu tentang kebenaran itu dan maha mengadili ketidak adalilan di bumi pertiwi ini.
Daftar Pustaka
1. Harahap Yahya, Kedudukan Dan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta.
2. Asadullah Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam cet. Pustaka Yustisia, jogja.
3. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hijaj Al-Qusyairi An-Nasaburi. Shoheh Muslim, Darul Kutub jilid 6. Zuz 12
4. Salam Mazkur, Muhammad. PT. Bina Ilmu. Suarabaya.
5. Haekal, Muhammad Muslim. Umar bin Khatab. Lentera AntarNusa, Jakarta
6. Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH dan Drs. Syaifuddin, SH,. M. HUM. Hukum Acara Peradta Dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama. UII Pres. Yogyakarta.
7. Hj. Sulaikin Lubis, SH.,MH, Hj. Wismar ‘Ain Marzuki, SH. Gemala Dewi, SH,. LL.M Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Kencana Jakarta.

Rabu, 05 Januari 2011

Fungsi Ilmu Pendidikan Dalam Penegembangan Propesionalisme Guru dan Tenaga Pendidik


Pendidikan merupakan bukan hal yang tabuh lagi dimata dunia. Setiap Negara menjunjung tinggi perihal pendidikan, baik itu Negara islam ataupun non islam. Semua berlombah-lombah untuk memajukan pendidikan di negaranya. Tidak terkecuali Indonesia.
Dalam tubuh Indonesia pendidikana adalah dinomor satuka, hal ini termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar tahu 1945 alenia ke empat Yang berbunyi “ mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuknya perlunya memperhatikan pendidikan di ibu pertiwi ini agar Negara tidak menjadi terbelakang, dan juga mengamalkan alenia kemapat UUD 1945.
Untuk mengamalkan UUD alenia keempat itu maka yang sangat berperan adalah para tenaga pendidik. Dalam kaitanya pendidik haruslah mempunyai kapabilitas tinggi sebagai pendidik. Untuknya  seoarang pendidik harus mempunyai keilmuan yang tinggi terhadap ilmu yang diajarkanya. Kompentensi yang tiggi ini akamn mempengaruhi ciakal bakal peserta didik untuk menjadi anak didik yang unggul dan juga berwawasan luas.
Selain itu juga seorang pendidik juga harus mempunyai kemapuan menguasai kelas, bagaimana pun juga kita tahu bahwa tak semua peserta didik mempunyai keinginan belajar setiap waktu dan tempat. Untuk mencarikan suasana maka guru di tutut untuk bisa membawa suasanah. Dengan demikian jika saja anak didik yang sedang tidak mut untuk beajar bisa temotivasi dan kemudian mau belajar sebagaimana yang alain.
Peranan guru dalam mendidik anak didiknya sangat penting adanaya, ada dua peranan  seorang guru sebenaranya ya’ni sebagai tranformen  ilmu, yang kedua tranforman budi pekerti, hal ini telah disingung dalam prinsip pendidikan diindonesia dalam filosof “tutwuri handayani” yang maksudnya adalah seoarang guru itu sebagai seoarang panutan seoarang murid, seoarang murid harus mengikuti guru. Makanya ada kata pepatah yang tak asing lagi yang timbul dari filosof tutwuri handayani ini jika tidak dilaksanakan “ guru kencing berdiri , murid kencing lari” . Disini perlunya seoarang guru dalam peranannya sebagai pendidik.
Untuk menjadi seorang guru tidakla mudah, kita harus mempunyai keahlian ilmu yang akan kita ajarkan juga harus menjaga sikap sehingga anak didik kita mampu menjadi anak didik yang mempunyai kecerdasan dan juga moralitas yang estetik. Untuknya perlunya seoartng pendidik dalam mencapai kesesuain diatas agar seoarng pendidik mempunyai pendidikan yang lebih fresonal untuk mencapai hal diatas.
Penegembangan keilmuan yang di punyai seoarang guru baik secara formal (sekolah) atau non formal (otodidak) adalah yang sangat menentukan hal diatas, untuknya pendidikan seoarang guru juaga harus ditilik kembali guna agar tidak diasalah gunakan peranan guru ini.
Untuk membangun Profesi Guru Saat ini telah muncul komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia, terutama Depdiknas, untuk merevitalisasi kinerja guru antara lain dengan memperketat persyaratan bagi siapa saja yang ingin meniti karir profesi di bidang keguruan. Dengan persyaratan minimum kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005, diharapkan guru benar-benar memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran.
. Pelaksanaan sertivikasi guru dalam jabatan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 18 tahun 2007. Menurut Permen ini, sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan. Program ini diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV). Program ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
 Maka dari paparan diatas perlunya seoarang guru mengenyam pendidikan yang tinggi, semisal saja seperti agar mendapat sertivikasi propesi guru. seorang calon guru harus menempu pendidikan formal S1 atau D-IV. ini merupakan upaya untuk mencerdaskan bangsa . keluar dari perdebatan parah ahli seorang yang telah menempuh SI atau D-IV merupakan seorang yang telah mempelajari sikap seoarng guru, metode  pembeljaran, dan juga mendorong masyarakat untuk sekolah lebih tinggi lagi guna tercapainya penagamalan pembukaan UUD 1945 alenia ke empat.

Hubugan Antara Teologi islam Dengan Dimensi Perkembangan Pendidikan islam


Teologi islam adalah merupakan salah satu fan ilmu yang berdiri sendiri dikalanagan orang islam. Kata lain dari ilmu ini dalah Ilmu tauhid yang pengertianya adalah Ilmu yang membahas tentang ketetapan kepercayaan (Aqidah) agama denagn dalil yang menyakinkan[1].
Teologi islam mulai dikenalkan oleh para pengajar pada intansi-intansi pendidikan islam. Seperti pondok pesantren , Madrasah Dinia dan sekolah-sekolah yang berlebelkan islam lainya. Dalam kaiatanya ilmu ini merupakan ilmu yang mengenalkan keimanan kita kepada allah, rosul, maiakat dan juga terhadap perkara khoib seperti neraka, surga, hari kiamat dan lain sebagainya. Seorang akan lebih kuat imanya jika mempelajari ilmu ini, dan juga akan mengetahui mana rana manusia yang bisa dijangkaunya dan juga mana rana tuhan yang tidak bisa dijangkaunya.
Dalam permulaan ilmu ini diajarkan pada anak didik setingkat dini sekalipun baik setingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah, kemudian Madrasah Aliyah. Pada perkembanagannya ilmu ini juga di jadikan mata pelajaran di perguruan tinggi yang istilahnya juga berubah menjadi teologi islam, begitu juga perubahan dalam menyajikan materi dari jenjang Taman Kanak-kanak hingga Perguruan tinggi dialakukan secara dianamis sesuai dengan tingkat pendidikan tertentu.
Untuk setingkat Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar pengajar mengajarkan dua kalimah syahadat, siapa tuhan kita dan  siapa nabi kita. Ini diajarkan menggunakan metode yang beragam baik dengan cara bernyanyi, berdemontrasi atau dengan Tanya jawab.
Sedang materi untuk setingkat Madarasah Tsanawiyah ini hampir sama dengan Madrasah Aliayah, dimanah dalam materinya mengenalkan sifat wajib Allah, sifat wajib nabi , sifat musatahil allah, nabi , siafat jaiz allah dan nabi. Selain itu pengenalan nama-nama nabi yang ada dua puluh lima, nama malaikat yang ada 10 dan lain sebagainya. Dengan menggunakan metode yang berfarian pula, baik dengan bernyanyi, demontrasi, atau guru berorasi di depan.
Berbeda dengan setingkat perguruan tinggi yang mana materinya sudah tak menganal lagiseperti yang di ajarkan di tingkat madrasah Tsanawiyah atau juga madarasah aliayah.  Materi yang disajiakan sesuai denga silabus pengajaran biasanya seperti mengenal banyaknya golongan teologi yang terpecah menjadi 73 golongan sebagaimana yang diaramalkan oleh nabi, dan mempelajari cara berfikir masing-masing golongan itu[2].
Para ahli pendidikan islam menetapakan teologi silam menjadi mata pejajaran disetiap intansi pendidikan beradasarkan pertimbangan bahwah ilmu teologi islammerupakan poko-poko ilmu aagam islam dan paling utama karena obyek pembahasan ilmu ini adalah dzat allah SWT dan para utusan-nya. Sehingga haruslah menjadi suatu yang wajib ada pada setip intansi pendidikan formal atau Non formal. Sebab mempelajari ilmu teolaogi islam adalah meningkatkan kepercayaan kita dalam beragama sebagai mahluk bertuhan dan beragama.  
Kaitan ilmu ini jika ditilik dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan anatra ilmu teologi islam dengan pendidikan islam sangat eret sekali, sehingga sepertinya tidak mungkin bagi peserta pengajar atau intansi pendidikan islam untuk menafikan pelajaran teologi islam ini di dunia pendidikan islam atau intansi pendidikan islam. Karena beriman adalah awajib hukumnya maka mempelajari ilmu yang membut kita beriman adalah wajib hukumnya, sebagaimana dalam khoidah fiqih diaktakan "اَمْرٌ بِشَئٍ اَمْرٌ عَنْ وَسَا ئِلِهِ"  (sesuatu yang wajib dialakukan maka wajib juga mengerjakan apa yang menjadi perantaranya). Maksudnya jika wajib mengerjakan sholat kemudian tidak mepunyai pakain untuk sholat maka wajib membeli pakain untuk. Karan tanpa pakain kita tidak dapat mendapat keabsahan sholat.


[1] Said Husain Afandi ,Terjemah husanul Hamidiyah. Al-Hidayah suarabaya, Hal, 1.
[2] Lihat silabus Ilmu Teologi islam di pergurauan tinggi.