Selasa, 26 Oktober 2010

Wadi’ah


Dalam kehidupan di masyarakat kita sering menemui pelanggaran-pelanggaran hokum. Seseoarang akan merasa kawatir jika menyimpan harata bendanya seperti barang dan uang dirumah.  sebab banyak pencurian dan perampokan yang semakin berkembang dan meraja lelah. Untuknya seseoarang membutuhkan suatu rasa keamanan bagi dirinya dan hartanya. Mereka mulai mengembangkan sistem penjaggaan harta bendanya dari pada menjaga dirinya. Yang kemudian islam mengatur sistem itu dalam akad Wadi’ah (akad titip-menitipkan). Upaya inilah yang dianggap aman agar harta benda tidak di usik orang, walaupun orang yang memiliki sedang tidak memperhatikan harta kepemilikannya, walaupun seorng pemilik dalam kedaan bepergian dan tak mungkin menjaga harta kepemilikanya.
Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tuntas masalah wadi’ah dan perkembanganya sebagai suatu transaksi yang menjamin keamanan harata benda,  baik berupa uang ataupun barang. Sebegai sistematisnya akan terlebih dudlu dibahas Wadi’ah secara definitive, dasar diperbisakan melakukan akad Wadi’ah sebagai alternative  keamanan harta benda tidak hilang, rukun dan syarat yang berkenaan dengan akad Wadi’ah dan juga bentuk perkembangan Wadi’ah di era ini.
A.      Penegrtian Wadi’ah.
 Penegertian Wadi’ah menurut etimologi adalah masdar dari lafath وَدَعَ   yang berma’na seperti lafath       سكن  yang berarti menempatkan. Sedang Wadi’ah  menurut terminologi sebagaimana  yang ketengahkan oleh Muhammad Al-zuhri Al-khorowi dalam kitabnya Anwar Al-masalik sebagai berikut:

[1]التَوْكِيْلُ الخَا صُ فِي حِفْظِ المَا لِ
 Yakni : Akad tawkil yang khusus untuk menjaga harta benda.

Menurut Darmansyah Hasibuan  apabilah sipenerima meminta imbalan maka akad itu disebut tawkil. Maka wajar dalam akad Wadi’ah si peneriama  Wadi’ah meminta imbalan karna dalam akad Wadi’ah ada unsur tawkil. Dan pendapat darmansyah lebih kuat ketika di kaitkan dengan definisi yang di utarakan Al-khorowi diatas. Karna Al-khorowi mendefinisikan Wadi’ah termasuk  akad tawkil yang khusus untuk menjaga harata benda.
Berbeda dengan definisi yang diungkapkan oleh ulama’ hanafi yang menonjolkan keikut sertaan seseorang dalam menjaga harta benda dan mengungkapkan praktek Wadi’ah pada awal bertransaksi seorang penitip dan yang dititipi. Sebagaimana berikut :

تسليط الغير علي حفط ما له صريحا او دلالة
Yakni:  Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan maupun melalui isyarat.
Hal ini misalnya seorang berkata pada orang lain “saya titipkan sepeda saya ini pada anda” dan orang itu menjawab “ya saya trima”  maka sempurnahlah akad Al-Wadi’ah, atau seoarang menitipkan kopyah pada  seseorang dengan mengatakan “saya titipkan kopyah ini pada anda” kemudian orang yang dititipi tidak menjawab hanya diam saja maka di anggap sah   (    يدل علي نعم     السكت) tapi kurang sempurnah.
Sadang Wadi’ah menurut Syafi’I Antonio adalah titipan murni dari satu pihak baik invidu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan harus di kembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dan pada perkembanganya Wadi’ah menurut Bank Indosesia adalah akad penitipan barang atau uang anatara dua pihak yang mempunyai barang atau unag dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan , keamanan serta keutuhan barang. Dari definisi yang di kemukakan oleh Bank Indonesia adalah yang paling lengkap unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam akad Wadi’ah yang mana nanti kami singgung ketika membahas tentang syarat dan ketentuan Wadi’ah. Selain itu tujuan akad Wadi’ah juga  disinggung.

B.      Dasar Hukum Wadi’ah.
Dalam masalah wadi’ah ulama’ sepakat bahwa landasan hukum wadi’ah adalah Al-quran. Dalam hal ini Allah menyinggung melalui sabdanya surat an-nisa’ :[2]

اِنَّ الله يَاْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُ وْا الاَمَنَا تِ اِلَي اَهْلِهَا....الآ ية
Artinya: sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…………..(QS. An-nisa’. 59)

Ayat ini turun berkaitan dengn penitipan kunci ka’bah sebagai amanah Allah kepada Ustman ibnu tholhah seorang sahabat nabi.
Dalam surat lain Allah juga menyebutkan tentang orang yang di beri amanah dan amanah itu harus di sampaikan kepada pemiliknya.

فَلْيُؤَدِّي الَّذِي اؤتُمِنَ اَمَا نَتَهُ .....………
 Artinya: …………Hendaklah yang dipercayai itu mtnunaikan amanah……………..(Qs.Al-baqoro.283)
Sedang Nabi juga perna menyinggung tentang amanat yang harus disampaikan. Sabda beliau:

اَدَّالاَمَا نَةَ اِلَي مَنْ اِئْتَمَنَكَ وَلَاتَخَنُ مَنْ خَا نَكَ
Artinya:  Serahkan amanh orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu menghinati orang yang menghianatimu.
Dengan ayat Al-quran dan Al-hadist diatas ulama’ fiqih sepakat mengatakan bahwah akad Wadi’ah hukumnya bisa dan disunnahkan dalam rangkah saling tolong menolong antar manusia. Parah ulama’ mengatakan bahawa akad Wadi’ah adalah sudah menjadi ijma’ amali bagi umat islam. Tak satupun dari ulama’ menyangkal ataupun mengingkari kebisaanya. Dengan demikaian tak ada kekawatiaran untuk melakukan transaksi titip-menitip atau Wadi’ah.

C.      Rukun Wadi’ah.
Rukun Wadi’ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalam transaksi Wadi’ah, dan juga menyebabkan  terjadinya akad Wadi’ah. Oleh karnanya semua rukun Wadi’ah harus ada jika tidak ada meka tidak akan terjadi Wadi’ah.
  Rurkun Wadi’ah menurut ashab safi’i  ada empat sebagaimana berikut[3] :
1.      Orang yang dititipi barang(مَوْدِعٌ). Orang yang dititpi barang , jika orang ini merusak atau menghilankan barang maka orang ini harus mengganti rugi barang yang dititipkan oleh orang menitipkan barang. Begitu juga orang yang dititipi barang (مَوْدِعٌ kedua)  oleh orang yang dititipi baran مَوْدِعٌ )   pertama(, dia juga harus mengganti barang yang dirusakan atau dihilangkan ditanganya. Dan syaratnya harus jelas dan baik. Sedangkan orang ini disebut custodian (orang yang merima pelayanan jasa) dalam istilah perbankan (مَوْدِعٌ).
2.      Orang yang menitipkan barang(وديع) . orang menitipkan barang adalah orang yang memiliki hak atas barang atau Orang mempunyai kekuasaan atas barang.
3.      Barang yang dititipkan .(وَدِيْعة)  barang yang dititipkan itu bisa uang atau barang yang dapat dan sah untuk di titipkan menurut syara’. Jadi dengan demikian jika ada seorang menititipkan arak atau barang yang tidak di benarkan syara’ tidak bisa menitipkan atau menerima titipan. Dan pada perkembanganya yang bisa dititipkan tak hanya uang dan barang. Dalam bank konfensional dikenal istilah savety box guna menyimpan barang nasabah dan juga dikenal istilah dokumen untuk urusan Saham, Obligasi Bilyet Giro, Surat Perjanjian Mudhorobah dll.
4.      Selanjutnya adalah transaksi (صِيْغَة). Transaksi adalah ungkapan antara dua belah pihak untuk melangsungkan akad tersebut. Maka dengan demikian sighot mengandung dua unsur yakni ijab (indikasi menyerahkan) dan juga qobul (indikasi menerima ). Dan shighot ini tidak harus menggunakan ucapan saja akan tetapi bisa juga dengan isyaroh diam atau tulisan. Hal ini seperti halnya transaksi perbankan yang hanya menggunkan tanda tangan atau buku taplus.

Ulama hanafiyah menyatakan bahwa rukun Wadi’ah hanya satu yaiatu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik , seperti “saya titip sepeda ini pada anda “), dan qobul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti saya terima titipan sepeda anda)[4]. Karena menurut hemat penulis ulama’ hanafi hanya mengangap penting shighot yang di ungkapkan kedua orang bertransaksi , olehnya tidak mempertimbangkan unsur lain yang memang itu pasti harus ada jika tidak ada namanya bukan nitip akan tetapi hanya ngomong.

D.     Syarat-syarat wadi’ah[5].
Menurut hanafiya menyatakan bahwa yang menjadi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah harus  yang orang berakal. Anak kecil yang telah berakal dan dizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi Al-wadi’ah maka hukumnya sah mereka tidak mensyaratkan baligh dalam persolan Al-wadi’ah. Akan tetapi anak yang belum berakal atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya, seperti orang gila tidak sah nelakukan Al-wadi’ah.
Sedangkan menurut jumhur ulama’, pihak-pihak yang melakukan transaksi Al-wadi’ah disyaratkan telah baligh, berakal dan cerdas karna akad Al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh  sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak di benarkan melakukan transaksi wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun orang menerima penitipan barang. Disamping itu jumhur ulama’ juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas tidak sah untuk  melakukan transaksi wadi’ah.
Syarat kedua akad wadi’ah adalah bahwa titipan itu harus jelas dan bisa dikusai (qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu bisa diketahui identitasnya dengn jelas dan bisa dikusai untuk dipelihara. Apabilah seorang menitipkan ikan yang ada dilaut atau disungai sekalipun ditentukan jenis jumlah dan identitasnya, hukumnya tidak sah. Karana ikan itu tidak bisa dikuasai oleh orang yang dititipi. Menurut ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap penting karana terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang mungkin timbul atau barang itu hilang selama dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi, apabila hilang atau rusak maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban diamahkamah[6].
E.      Macam  Wadaiah.
Transaksi wadi’ah termasuk akad wakalah. Maksudnya pemilik asset mewakilkan pada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbisakan untuk memanfaatkan barang atau uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif  maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang atau uang itu milik mudi’   (penitip).dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi’ah yaitu.
a.      Wadi’ah Ad al-amanah
Wadi’ah yad al-amanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima tdak diperkenankan menggunakan barang atau uang tersebut dan juga tiadak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilngan yang bukan disebabkan atas kelalainnya dan faktor-faktor diluar batas kemampuan[7].
ليس علي المستودع غير المغل ضمان 
Artinya:Orang yang dititpi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi.
Karana menurut ulama dalam kaitan wadi’ah yad ini mengatakan bahwa barang yang berada ditangan orang dititipi bersifat amanah bukan dhomanah. Jadi barang atau uang rusak atau hilang diluar kemapuan dia untuk menjaga maka maudi’ tidak mengganti rugi. Akan tetapi jika kerusakan atau kehilangan atas barang atau uang karna kelalain yang disengaja maka dia harus mengganti.
b.      Wadi’ah Ad-Dhomanah.
  Wadi’ah Ad-Dhomanah akab penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan izin atau atanpa izin bisa menggunakan uang atau barang dapat memanfaatkan dan bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehingan barang atau uang titipan tersebut. Hal ini sesuai hikaya tentang nabi sebagai berikut[8]:
Diriwayatkan dari Abu Rafii bahawa Rasul SAW. Perna meminta seseorang untuk meminjamkan seekor onta untuk berkurban, setelah selang beberapa waktu Rasul SAW meminta Abu Rafii untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya tapi abu Rafii kembali kepada Rasul SAW seraya berkata , “ya Rasul,untah yang sepadan tidak kami temukan yang ada hanya unta besar dan berumur empat tahun”. Rasullah SAW, menjawab “berikan itu karana sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar”(H.R Muslim).
Wadi’ah dalam prespektif pelaksanaan perBankan islam hampir bersamaan dengan Al-qradh pemberian harta atas dasar social untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga sama dengan Al-iddikrar yakni menyisikan seabagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Semua sama-sana akad tabarru’ dan perbedaanya adalah pada orang yang terlibat didalamnya dimana dalam wadi’ah pemberi jasa adalah mudi’ sedang dalam al-qiradh adalah muqridh.
H.           Aplikasi Dalam Perbangkan.
Keynes mengemukan bahwa orang membutukan uang karna: Transaksi,Cadanagan Dan Investasi, sehingga perbangakan menyesuaikan dengan Giro, Deposito dan Tabungan. Sementara itu pada bank syari’ah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi’ah (tabungan ),namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro dan ada yang seperti deposito. Dilihat dari sumber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi’ah dapat dibagi kedalam wadi’ah jariyah atau tahta tholab dan wadi’ah iddikariyyah atau attaufir. Kedunya masuk kedalam titipan biasa
Wadi’ah istimariyah (titipan investasi ) seperti hanya wadi’ah terbagi atas dua jenis maka titipan investasi ini pun terbagi atas dua bagian yakni General Investemen (investasi umum) dan special investemen (investasi khusus). Yang kedua jenis ini mempunyai perbedaan yang teretak pada shahib Al-amanah dalam praktek penginfestasi. Sesusai dengan wadi’ah di atas  wadi’ah yad Al-manah, maka pihak yang menerima titipan tidak bisa menggunakan dan memanfaatkan uang dan barang yang ditipkan tapi harus menjaga sesuai dengan kelaziman. Pihak penerima penitipan dapat membebankan biayah kepada penitip sebagai biyah penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipan bahakan dia dibebenkan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa pihak perbangkan.
Adapun wadi’ah dhomanah  pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang di hasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank dan juga pihak bank juga menanggung semua kerugian yang akan terjadi. Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipanya.walaupun demikian pihak si penerima pennitipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut tidak dialarang untuk memberikan inesiatif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan juga jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal presentase secara edvenc. Sebagaimana hal ini difatwakan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan bahawa ketentuan umum giro berdasarkan wadi’ah iayalah[9]:
1.      Bersifat titipan.
2.      Titipan bisa diambil kapan saja(on call).
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian.yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan bedasarkan wadi’ah adalah sebagai berikut:
1.      Bersifat simpanan.
2.      Simpanan bisa diambil kapan saja(on call). Atau berdasarkan kesepakatan .
3.      Tidak ada imbalan yang di disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang besifat sukarela pihak bank (DSN) No: 01/DSN-MUI/VI/2000.

I.                    Penutup.
Dalam praktek perbankan syari’ah kita bisa liahat dengan jelas bahwa hampirsemua praktek wadi’ah telah diepnuhi, wadi’ah yang merupakan amanah bagi orang yang dititipi, dan barang atauuang tetap menjadi hak milik orang yang menitipkan. Kapan saja pemilik membutuhkan bisa mengambil haknya kapan dia mau. Setelah itu ketentuan yang berlaku dalam wadi’ah telah kita jumpai dalam perbankan syari’ah Indonesia daan juga prosedur dan kegiatan perbankan itu disesuaikan oleh Dewan Syaria Nasiaonal ataupun Majelis Ulama’ Indonesia. Oleh karana itu produk-produk bank syari’ah secara legal beroprasi sebagai alternative bank isalam. Bagi orang islam yang takut dan kawatir tentang ribah bisa menitipkan uang atau barang pada bank syari’ah.









[1] Muhammad Al-zuhri Al-khorowi. Anwar Al-masalik. Hidayah, surabaya
 Hal:176
[2] Dr. H. Nasrun Harun, MA , Fiqh Muamalah. Gaya media Pratama.cet 2. Jakarta. Hal.245.
[3] Thuhfath Al-thulab
[4] Dr. H. Nasrun Harun, MA , Fiqh Muamalah. Gaya media Pratama.cet 2. Jakarta. Hal.246.

[5] Ibid. hal.246
[6] Ibid.hal. 247
[7] Blogsport Darmansyahhasibuan@yahoo.co,id
[8] Ibid.
[9] Ibid.

Minggu, 24 Oktober 2010

Ameriaka Sipenjilat


Siapa bilang Amerika Negara yang bersih dari virus Negara yang bisa menyababkan kelumpuhan suatu Negara dalam membangun mencapai kemakmuran rakyatnya, dan siapa bilang Amerika satu-satunya Negara adidaya. Anggapan kita tentang Amerika bagaikan hamba dan raja yang selalu meninggikan mereka, Takut pada rudal mereka, pemikiran mereka dan tentara mereka. Asumsi seperti inilah yang mengecilkan hati kita. Bahkan ketika mendengar nama Amerika sudah hati kita mengkeret bagai gabus disiram bensin. Anadai saja kita tak membesarkan mereka pasti mereka tak besar menurut kita.
Memang Negara –negara kecil daripada Amerika mengatakan Amerika sangat kuat dalam segala hal, akan tetapi bagi Negara yang bisa bersaing dengan Amerika menggap bahwa Amerika bagaikan herder yang hanya menindas, menggigit Negara kecil yang tak berdaya. mereka juga memberi secuil kemanfaatan bagi manusaia dan member bencana bagi Negara-negara yang lemah. Memakai baju perdamaian tapi yang timbul permusuhan. Berjubah membangun tapi itu kehancuran, begitulah realitanya yang mereka lakukan selama ini.
Bagaimana agar mereka kita anggap saeabagai Negara yang arogan dan penjilat. Sebutulnya mudah menghilangkan asumsi itu, kita hanya butuh informasi yang datang dari orang atau wartawan yang tidak memihak melalui sudut manapun atau bisa langsung melakukan observasi yang obyektif dan seahat. Karana jika saja kita hanya menunggu informasi lawat media itu sama halnya menerima berita yang tidak bersih. Sebab media-media informasi kita sudah dikuasai sehingga informasi yang mereka tampilkan atau tayangkan adalah inforamasi yang menipu kita. Mereka akan menyembunyikan semua keresahan dan kegaduhan yang sebenarnya, guna mengelabuhi kita. Sehingga kita tertipu dengan bius yang mereka berikan pada kita.
Sesungguhnya Amerika tidaklah yang seperti kita liahat selama ini. Akan tetapi tanpa kita sadari meraka menyimapan sebuah yang carut-marut dalam tubuh Negara mereka dibelakang kita, diamana sesuatu itu tak boleh kita tahu. Oleh sebab itu penulis menginginkan dalam artikel ini mengungkapkan asumsi penulis tentang kebiadaban Amerika sebagai Negara yang memegang polisis dunia kepada Negara-negara kecil, Negara yang ingin bangkit dari keterpurukan dalam segi politik atau ekonomi.  Baru-baru ini mereka mempora- porandakan irak, mengalirkan dara-dara orang yang tak berdosa, mengahancurkan sistem perekonomian dan mengambil torpedo dari irak. Mereka memakai topeng polisi dunia yang mengamankan Negara itu dari separatis tapi realitanya tidak seperti itu. Sehingga sadam Husain yang menjabat sebagai presiden saat itu diburu dan terbunuh mati ditangan tentara Amerika.
Sebetulnya misi mereka ke irak dalah mencopot dan membabi-buta pendukung sadam dan juga penduduk  irak guna mengusai minyak bumi dan peralatan meliter, sebab mereka takut akan  pembrontakan irak terhadap mereka. Mereka berfikir jika saja tidak ada tindakan mengambil dan melumpuhkan Negara itu mereka akan kalah dengan irak. Negara lain yang berkembang dalam perekonomian, Negara yang berkembang dalam peroprasian militerial dan lain sebagainya akan dilumpuhkan. Negara ini seperti cina, irak, india dan lain sebagainya.
Menurut pakar penelitian , Amerika barada di ambang kehancuran. Hal ini terlihat banyak sekali kejadian-kejadian kasus kriminalitas, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan dan teroris. Dalam hal perekonomian juga mengalami kemerosotan yang sangat signifikan.  Paul kenedi pakar pemikir Amerika mengatakan penurunan yang tampak di Amerika adalah : pertama  Amerika mengalami kemerosotan dalambidang ekonomi. Di dibandingkan dengan Negara-negara lain kususnya jepang dan negaran eropa lainnya. kedua ekonomi merupakan unsur terpenting kekutan suatu Negara. Karana itu kehancuran perekonomian berdampak kepada demensi lain yang menyangkut ketehanan nasiaonal. Ketiga kemunduran perekonomian Amerika disebabkan anatara lain, karana anggaran dana kemiliteran dan keamanan sanagalah besar. Karana polisi mereka menjaga dan beroprasi ke Negara dunia. Dan nampaknya beban ekonomi ini semakin tidak bisa dipikul oleh negera Amerika jika berkelangsuangan, maka dengan lengsernya Jos Buss ombama dapat memulihkan kelumpuan itu. Hal ini karna Amerika sering ikut campur Negara lain.
Selain ekonomi ada juga perenan yang sangat penting dan perlu di perhatiakan yakni moral dan juaga peradaban suatu Negara. Ludrock  adalah ilmuan Amerika yang mengatakan bahwa sisi moral dan social kemanuasian adalah sabagai eksitensi masarakat modern dan juga kesinambungan sebuah peradaban suatu Negara dan pemeirintaha meruoakan pokok utama yang harus di jaga. Tentang moral dan peradaban juga disinggung oleh Ibnu Rusdi beliau mentakan “bahwa krisis moral dan social yang dialami bangsa Amerika akan terus meningkat yang mana peningkatan itu mengakibat kegoncangan dan kehancuran Amerika sendiri.
Oleh:      ogut medan
Jombang, 2007

Akal Dan Islam


Pusaran rotasi kehidupan memaksa kita untuk berfikir tentang islam. Islam adalah agama yang doktrinnya berdasarkan Ql-quran, As-sunnah, Ijma’, dan Qias. Dengan demikian ada peluang manusia untuk mengerahkan akal fikirnya untuk menetapkan suatu hokum yang baru yang sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Akan tetapi apakah setiap hukum itu harus sesuai dengan pertimbangan akal?, atau bisa di bilang apakah hokum islam bisa di damaikan dengan akal manusia?. Ungkapan demikianlah yang menggugah penulis untuk bangkit dan menggoreskan tintanya di kertas ini.
Di sini perlu kita ketahui bagaimana peranan akal fikiran dan di mana ruang akal akan berperan untuk menghukumi sesuatu. Karna akal bukanlah sesuatu yang elaastis yang bisa masuk di setiap ruang dan bidang. Di sini sebagian ulam’ mengatakan akal adalah insting yang dicipatkan oleh allah swt. Pada kebanyakan makhluk yang hakikatnya oleh hamba-hambanya, baik melalui doktrin sebagian untuk sebagian yang lain. Tidak juga mereka secara berdiri tidak dapat menjangkau dengan pandangan indra atau rasa. Allah yang memeperkenalkan insting itu melalui akal.
Al-harist bin asad Al-muhasibi mengatakan dengan demikian akal bisa berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikan manusia menerima berbagai pengetahuan teoritis. Sedangkan potensial seseorang dalam berfikir tidaklah sama, dalam artian bila seorang itu luas wawasannya berarit besarlah potensi berfikir yang benar. Akan tetapi kalau orang sempit wawasannya, maka apakah orang seperti ini  memiliki pemikiran yang sama dengan orang mempunyai wawasan seperti orang yang wawasanya luas?. Kemudian apakah akal juga biasa menjangkau dimensi yang abtrak, Seperti kemanfaatan dan kemadhurotan apa yang di perintahkan kepada kita, seperti sholat ,zakat, terlebih kemnafaatan haji, yang ketika kita mengerjakannya kiata harus mengeluarkan banyak uang. Tentu saja akal tidak biasa menjangkau hikma atau kegunaannya kecuali karna allah semata.
Hal ini karana akal mempunyai ruang tersendiri untuk mengetahui suatu yang dalam. hal ini apabilah sesuatu itu berupa perkara yang esensinya tamapak dan dapat di tangkap oleh panca indra, maka akal akan bisa menjangkaunya. Missal hokum berwudhu’ dan mengusap muzah.
Wudhu saja jika kita mau meliahat apa guna wudhu’ dan ketika kita kentut mengapa yang di basuh tetap bagian wudhu bukan temapat keluarnya kenut. Akal disini tidak mempunyai area untuk menentukan apa tujauan itu, karna tak biasa meliahat dan terlalu jauh memandangnya.
Tapi mengapa Al-quran memerintahkan kita untuk membaca dan berfikir?. Quraisihab mengatakan tujuanya antara lain adalah agara manusia menggunakan akal dalam mengembangkan ilmu serta menjadikan akal sebagai tolak ukur menyangkut hal-hal yang berada dalam jangkauan akal , dan agar manusia menerima dengan baik ketetapan siapapun yang sejalan dengan akal. Dan menolak apa dan dari siapapun sesuatu yang bertentangan dengan akal. Namun perlu di ingat bahawa itu bukan berarti menolak apa yang tidak difahami oleh akal (Dr. Quraisihab. logika agama). Oleh karananya bukan rasiaonal yang bisa membuat hokum dan juga bukan frespektif orang. Tapi lebih dari itu tuhanlah yang membuat hokum melalui nabinya. Adapun ilmu merupakan produk manusia dan ilmu akan bisa berkembang sesuai dengan perekembangan zaman dan kebutuhan manusia.
Oleh : ogut medan
Jombang: 08-05-07
  

PERJALANAN HUKUM ISLAM (Historis Hukum Islam Dari Masa-Kemsa)


Islam adalah agama yang sangat korehensip dia mempunyai historis yang panjang. Historis inilah yang mengantar pengikutnya untuk mempelajari doktrin yang diajarkan oleh nabi pembawa risalah. Doktrin islam pun tidak sebatas hanya pada ubudiyah dan akhalak, akan tetapi lebih dari itu islam juga mengajarkan proses muamalah yang baik untuk mengatur tatananan masayarakat yang dinamis dan tidak bisa terlepas dari peranan orang lain. Oleh karana islam mengatur muamalah umatnya sebaik mungkin, dalam kaitanya islam menelurkan hukum-hukum atau aturan-aturan untuk mengatur umatanya.
 Dalam perjalanan historisnya,  hukum islam merupakan hukum yang di landaskan pada dua dasar hukum islam itu sendiri ya’ni Al-Qu’an dan Al-Hadist, Namun perkembangannya akan memaksa umatnya untuk memegang ijma’ dan Qiyas sabagai penetapan terakhir jika tidak ditemukan hukum dalam Al-Quan dan Al-Hadist. Itulah mungkin perlunya menela’ah perkembangan historis hukum islam muali dari masa nabi asampe erah sekarang ini.
Dalam makalah kami ini akan dibahas perjalanan hukum islam, berawal dari priode nabi sampai dengan setelah orde baru. Dan kami akan membahas sabaimana runtutananya sebagaimana berikut.
A.                 Hukum Islam Pada Priode Nabi.
Pada pra islam datang kesatuan masyarakat arab adalah bersuku-suku dan berkelompok-kelompok. Oleh karnya terjadi suku kelompok satu akan mengklaim keturunan suku kelompok lain. Meneganai ritual-ritual mereka tidak dilahirkan dari doktrin agama tapi  dilandaskan kepada kebiasaan-kebiasaan tradisioanal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan menurut Coulson, suku-suku itu diikat oleh lembaga-lembaga hukum yang tidak tertulis yang berkembang sejalan dengan perkembangan suku itu.[1]
Dalam bermuamah seperti pinjam-meminjam kenekan bunga, bunga yang dimamai ribah itu merajalela, penyususnanm-penyusunan perajanjian harta tidak terbatas. Jika saja ada yang meninggal dari mereka harta waris akan di berikan pada ahli waris perempuan yang bisa mengangakat senjata, smentara ahli waris laki-laki dan anak disinkirkan. Selain itu pula hubungan seks dan setatus anak ditengah-tangah masyarakat  juga tidak jelas seorang diperbolehkan untuk mengawini ibu tirinya dan juga bebas memutuskan perkawinan itu dan setelah itu dia bebas untuk mengawini siapa saja dan kapan saja dia mau. Kemudian  budaya-dudaya orang arab yang telah berlaku terkikis secara pelan tapi pasti dengan datangnya sang nabi pembawa risalah. Walau pun sulit dirasa semua budaya itu sedikit-sedikit berubah.
Nabi dilahirkan pada tahun 570 M. pada usia 40 tahun, beliau mendapat wahyu peratama : Bacalah dengan nama tuhanmu, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan tuahanmu adalah yang maha mulia, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.[2]
Sedang  masa kenabian telah dimulai pada tahun 160 M . selama ini Al-Quan merupakan  sumber hukum peratama. Al-Qu’an diwahyukan oleh Allah untuk menuntun kejalan yang benar ,priode kenbian berlangsung  22 tahun dengan rincian 12 tahun  nabi bertempat tinggal dimakah dan 10 tahun bertempat tinggal dimadinah. Pada saat ini Al-Hadist atau As-sunah sebagai sumber hukum kedua, dimana definisi As-Sunah  adalah semua perbuatan Nabi, ucapan Nabi dan ketetapan Nabi pada perilaku shohabat atau dalam member hukum terhadap sesuatu.
Pada masa nabi terbagi dua proses pemberian doktrin bagi umatnya, yaitu ketika nabi berada di makah dan madinah. Pertama ketika beliau berada di makah beliau hanya disebukan denegan bagaimana orang arab agar mau masuk islam, oleh karna itu nabi  melakukan Perbaikan akidah. ini diharapkan dapat menyelamatkan ummat islam dari kebiasaan membunuh, berzina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Sedangkan hukum-hukum ibadat banyak disyari’atkan di Madinah, ibadat-ibadat yang di syari’atkan di Mekkah hanyalah yang mempunyai hubungan erat dengan akidah dan akhlak seperti: mengharamkan bangkai, dan Kedua. Setelah Nabi Muhammad saw berada di Madinah barulah beliau mengarahkan tenaganya kepada membina hukum – hukum pergaulan atau kemasyarakatan seperti: muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumph, dan peradilan. Kerena pada fase madinah ini islam tidak lagi lemah, adanya ajakan untuk mengamalkan syari’at islam dalam rangka memperbaikai hidup bermasyarakat dan membentuk aturan damai dan perang[3].
Dimasa ini para kaum muslimin tidak juga para sahabat khulafaurosidun tidak meragukan sama sekali apa yang datang dari nabi, baik berupa Al-Quran atau As-Sunah. Mereka selalu mematuhi hukum yang diberi oleh nabi, oleh karanaitu dimsa ini yang menjadi pijakan hukum dalah Al-Quran dan Al-hadist. Dan para kaum muslimin tidak ada kesulitan untuk mencari hukum atau menghukumi sesuatu pada saat itu, karna wahyu yang berupa Al-quran masi turun dan juga nabi masi hidup, dengan demikian mereka bisa menanyakan langsung pada sumberhukum(Nabi) masalah yang ditemui.

B.                       Pada Masa Khulafaurosidun.
Sebagaimana kami jelaskn diatas bahwa dimasa nabi masi hidup para akaum muslimin tidak mngalami kesulitan dalam menetapkan hukum yang dijumpai, karana nabi senantiasa membimbing dan meperhatikan mereka untuk menghadapi setiap masalah yang menerpa mereka, namun ketika Nabi telah wafat para sahabat khulafaurusidun dan shohabat lain dipaksa bekerja keras untuk menyimpulkan hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Dan pada saat sperti ini para sahabat menggunakan Qiyas dan Ijma’.
Problem pertama yang mereka hadapi adalah pemilihan Abu Bakar sabagai pengganti nabi. sebaimana pada saat nabi meninggal kaum muslimin yang beriman ada yang murtad dan adapula yang semakin lemah imannya karana nabi meninggal. Pada saat itu pula krisis kepemimpinan terjadi. Hal ini karana pada saat nabi masi hidup beliau tidak menunjuk siapa pengganti beliau kelak. Pada saat ini para pembasar sahabat berijtihad untuk mengeluarkan krisis kepemimpinan. Mereka mengqiaskan bahwa saat Nabi masi hidup, Nabi perana menyuru Abu Bakar untuk menjadi imam sholat Jama’ah, dari peristiwa itu mereka  para shohabat mengqiqskan hal itu kepad permsalah kepemimpinan Abu Bakar.
Sabagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Muslehuddin . Prosedur yang mereka  tempuh untuk mempertahankan bentuk hokum yang ideal dan mepunyai kausa yang jelas dan kuat disebut  qiyas tamm. Seadang yang tidak jelas kausanya disebut Ta’wil. Sedangfungsi Ta’wil adalah untuk menemukan sabab aturan yang telah di wahyukan, guna dikembangan ke dalam kasus-kasus serupa, dengan menujukan kepada kata-kata dari atruran atau hokum yang diwahyukan(nash) , mengatahui penegritan implinsit dari nash maupun mengetahui apa maksud dari As-Sunah. Dan dalam hal ini para shabat sama sekali tidak menggunakan pendapat pribadi ataupun penalaran mereka. Mereka mungkin ingat sabda babi “Barang siapayang menjelaskan Al-Quran dengan menggunakan pendapat pribadi maka dia harus bersiap untuk menduduki tempatnya di api neraka.
Setelah penbgakatan Abu Bakar menjabat kholifah timbul fitnah pulah tentang pembelotan kaum muslimin, begitu pula dari kaum non muslim, sebagian dari mereka ada yang mengaku sebagai nabi.pergolakan itu terus berkelanjutan. Penipu itu bermunculan dengan surat palsunya sehingga saidina Umar mengusulkan agar Al-Quran segera dikodifikasikan, selain itu pula banayak sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dimedan perang untuknya jika Al-Quran tidak di tulis dan dikodifikasikan pasti akan ternoda ke ontetikanya. Mereka mulai mengumpulkan tulisan-tulisan ayat Al-Quran yang berada dirumah fathimah dan yang tercer di penulis-penulis wahyu saat nabi masi hidup, setelah itu mereka mengumpulkan para shabat yang hafidh Al-Quran dari manca Negara guna menyamakan tulisan dan juga bacaan[4].
Hal ini juga harus kita akui sebagai ijtihad, shabat yang berusaha mengadakan sesuatu diamana pada masa nabi belum pernah terjadi pengkodifikasian Al-quran seperti ini. Oleh karnya upaya beliau inilah sebagai patokan bagaimana mereka menggalih hokum pada masa itu.

C.        Priode Bani Umayah.
Pereode ini sebut juga dengan masa Shighori Shohabat, dimana pada masa ini yang memegang kekuasaan kholifah adalah shabat Muawiya bin Abi syufyan. Muawiyah menjabat menjadi kho;ifah pada tahun 41-132 H. priode ini ditandai dengan pergerakan dua kubu separatis ya’ni khowarij dan juga syi’ah.
Di periode umayah juga di tandai dengan pengngkatan  pera hakim untuk menyelesaikan perselisahan dengn kemapuan yang tidak dibatasi untuk memutuskan kasus-kasus yang dihadapi berdasarkan pendapat pribadi mereka(ra’yu). Tidak ada pengaruh penyeragaman yang ditekankan pemerintah pusat dan tidak ada hirarki pengdialan yang mengikat presiden-presiden yang mungkin menyergamkan sistem dalam dalam menghadapi suatu kasus . juga tidak dapat diktakan hokum-hukum Al-Quran menyediakan unsur pemersatu yang kuat. Selain bidang yang terbtas ini, baik apakah norma-norma Al-Quran diterapkan atau tidak sama sekali benar-benr telah tergantung pada tingkat pengetahuan dan kesalah yang dimiliki oleh seorang hakim, tapi untuk hakim yang saleh, penafsiran atas ketetapan Al-Quran sebagian besar merupakan masalahkebijakan personal, ssehingga selain peraturan –peraturan yang sederhana dan mendasar, aplikasi sering ditambah dari pada dikurangi dari perdean yang umum dalam praktek hokum.

D.     Periode abasiyah.
Periode abasiyah adalah periode yang baik untuk mempeljari sistematika hokum islam,. Pada periode ini beberapa aliran hokum islam muncul, dimana yang monumental dalah empat aliaran sunni yang dikait kan dengan nama Abu Hanifa, Malik bin Anas syafii. Dan Ahmad bin Hambal.
a.      Abu hanifah.
Nua’im ibnu Sabit dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Lahir pada tahun 80 H dikufah(irak) dan meninggal delapan belas tahun setelah Abasiyah berkuasa . ia memiliki kekutan nalar yang luar biasa dan yang merumuskan teori istihsan atau teori hokum yang menunjukan pelanggaran hokum atas analog ketat demi kepentingan umum.
Disini dapat di catat bahwa penalaran seseorang bisanya disebut opini tau ro’yu, tapi ketika digunakan oleh mujtahid atau orang memenuhi persyaratan maka disebut ijtihad atau usaha menyimpulkan pereturan-perturan hokum .” ketika ditunjukan untuk mencapai sistematika konsistensi dan di tuntun oleh institusi   atau keputusan yang ada maka disebut qiyas atau analogi,kesamaan penalaran ketika merefleksikan pilihan pribadi dan kebebasan pendapat seorang ahli hokum  , yang dituntun oleh edialnya yang tepat, maka disebut ihtisan atau istishab(persetujuan atau pilihan).sedang abu hanifah disebut pendukung pendapatnya sendiri.
b.      Malik bin Anas.
Malik bin anas yang terkenal sebagai imam malik lahir pada tahun 95 H dimadinah. Madinah juga tempat diamana ia belajar dan juga tempat dia dinajuluki ahli hadisyang paling keterkemuka. Ia juga ahli hokum  yang besar dan aliaran malki di kaitkan debngan namanya. Dia banyak belajar tentang hadist nabi yang diambil oleh para sahabat. Tapi tidak boleh dibyangkan bahwa aliranya didasarkan pada siakap mendukung hadist secara kaku. Kenyataanya justru sbaliknyayang dalam beberapa hal  sulit untuk membedakan mana malikiyah dan mana hanafiyah. Karana sumber pertamnya tetap Al-quran , kemudian As-Sunnah digabungkan dengang pengalaman para kholifah dan UU kota yang tidak tertulis.
Malik sangat terkait dengan arti penting tradisi madinah dengen anggapan bahwa tradisi-tradisi ini pasti telah dipindahkan dari maasa nabi.konsep lain yang dikembangkan oleh malik adalah persetujuan atau ijma’ . dia tidak member kekuasaan  memutuskan melaui ijma’ kepada dunia luar, karna madinah merupakn dunia baginya dan persetujuan Madinah semata dapat menetapkan kebenran universal.[5]
c.       Syafii.
Nama asli imam syafii adalah Muhammad bin Idris As-syafii. Lahir dipalistina pada tahun 150 H. beliau dalah murid dari imam malik. Sejak kecil beliau  sudah terkenal sebagai pelopor yurisprudensi islam. Teori-teori terkenal karena pandangnya yang sederhana arisalah adalah karya monumental yang menujukan pandangan yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenahi pengetahuan hokum.buah penanya tentang yurispudensi arisalah merupakan karya monumental yang menunjukan pandangannya yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenai pengetahuan hokum yang memungkin kan untuk mengatakan apa yang menjadi kata pemutus dan permasalahan.
Keteguahan beliau dalam memegang hadist nabi termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadist sama-sama mangikat dan jika dipertentangkan dengan dua atau lebih hadist yang jelas bertentangan maka dia menggunakan interprestasi yang mengharmoniskan dan beliau jugga tidak perna menganggap ada hadist bertentangan jika ada cara untuk menyatukannya jika kedua hadist itu tidak bisa di kompromikan maka beliau akan memilih yang lebih dekat dengan Al-Quran dan mempertahankan bagian dari sunnah Nabi yang tidak dipertentangkan lagi.
Sedang kan pandangan beliau tentang Al-Quran .bagi beliau Al-Quran meerupakan dasar dasar hokum dan penjelasan segalah sesuatu , sepritual dan temporal dimana orang beriman diaharuskan mengamatinya. Ia membagi hokum Al-Quaran kedalam kategori yang berbeda. ‘Ada’ ia mengamati pereturan umum yang dijelaskan oleh konteks tetapi ada juga aturan implisit ia menambahkan ada pereturan umum dimana hanya sunnah yang dapat menetukan umum dan khususnya. Konsep ini dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam penapsiran ayat Al-Quaran.
 Pandangan syafii mengenahi sunnah nabi telah didiskusiakan ditas. Ijma’ (consensus ) baginya bukan bukan sebagai kesepakatan beberapa ahli hukumlokal atau daerah tentang masalah tertentu tetapi ia memberikan arti yang lebih luas agar mencakup persetujuan seluruh masyarakat, dan ini mungkin dengan cara memelihara keseragaman hokum, tapi mengingat kesulitanya mencapai persetujuan semacam ini, maka ulama’-ulama menetang pandangan imam syafii ini , imam ghozzali menyusun sebuah modus Vivendi dengan membatasi kebulatan seluruh masyarakat untuk dasar.meninggalkan masalah-masalah yang detail demi persetujuan para ulama.
Ia membatasi penggunaan qiyas atau analog untuk masalah-masalah detail pada prinsipnya Syafii mengakui hanya penalaran sistematis analog yang ketat untuka mengeluarkan pendapat yang berubah-ubah dan keputusan yang bebas  , baginya ro’yu dan ihtisan dalah sinonim. Begitu juga teori maslaha mursalah yang dikembangkan oleh imam malik.[6] 
d.      Ahmad bin hambal.
Diantara  ulama’ besar yeng mengikuti ajaran syfii adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal yang dikenal sebagai imam  Ahmad bin hambal. Beliu lahir di Baghdad pada tahun 164 H. repotasinya sebagai ahli hadis dan teologi lebih besar dari pada ahli hokum. Ia amat ketet memegangi hadist nabi dan menginterprestasikan secara literal. Tidak seperti imam –imam yang lain, beliau membolehkan doktrin ijma’ dan qiyas dengan amat terbatas . ia sama sekali tidak menerima pemikiran manusia sebagai sumber hukum hanya sunnsah nabi dan wahyu ilahiya dalam Al-Quran yang berwenag sebagai sumber hokum .  kesalehanya dapat di kumpulkan  dari fatwa bahwa beliau mengatakan tidak perna memakan buah semangka karna tidak menjumpai teladan nabi dalam masalah ini. Sedang karyanya yang amat monumental adalah muasnad yang memuat 40.000 hadist.

E.      Pasca Priode Abasiyah.
Pada masa ini pemikiran ahli hokum mengalami penurunan bersamaan dengan runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M. Ahli hokum sunni berpendapat bahwa empat aliran hokum diatas yakni Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabillah sudah dianggap cukup jadi pintu ijtihad telah di anggap tertutup dan selalu memilih priode taglid (mengikuti pendapat mazhab )tanpa meneliti sumbernya. Taglid berljan terus dalam bentuk ini dalam waktu yang lama hingga munculnya suatu gerakan baru yang mendobrak tradisi kuno ini. Pada akhirnya realitas kini merupakan perbedaan besar antara orang menyukai taklid para moderenis yang menekankan reformisi-reformisi baru.
Moderenis dalam islam pada dasarnya merupakan suatu gerakan melawan taklid atau peniruan buata terhadap masa lampau yang menghendaki ijtihad. Menurut kaum moderenis , ijtihad adalah interprestasi rasiaonal terahadap Al-Quran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarng. Dan sejarah neo-ijtihad bisa dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M) yang menjadi pengikut mazhab hanabilah, dan juga terkenal tidak punya lelah menetang sikap menerima taklid dengan tanpa melihat dalil. Begitu juga jamal al-din Al-afghani yang terkenal dengan penyokong reformasi dalam islam yang menghabiskan hidupnya dimesir selama delapan tahun dan Muhammad Abduh  yang kemudian menjabat seorang mufti besar dimesir.

 
F.       Priode Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

G.     Priode Penjajahan Belanda dan Jepang.
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
-      Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
-      Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
-         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam[7].
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
       Kemudian dijaman jepang, Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
-         Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
-         Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
-         Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
-         Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
-         Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
-         Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
  
F.  Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
H.     Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita[8].

I.        Penutup
Berdasarkan dari perajalanan hokum islam yang telah pemakalah uaraikan, mungkin bisa di simpulkan, bahwa perajalanan hokum islam dalah bersifat dinamis sehingga dapat menjadi peneduh bagi masayarakat muslim, dalam kaitanya perkembangan hokum islam di tandai dari sejak pasca meninggalnya Nabi Muhammad, dimana para sahabat mualai mengenakan baju ijtihadnya dalam menghadapi segalah persoalan. Metode berijtihad mereka menggunakan qiyas, ijma’ dan penginterprestasian terhadap dua samber hokum islam meruppakan jalan terkhir untuk menetapkan hokum suatu masalah, kendati demikian mereka juga bervarian dalam menetapkan metode yang di gunakan akan tetapi dari situ hokum islam tidak keluar dari sumbrnya ya’ni Al-Quran dan As-sunnah.
Kemudian walau pun peletak metode ijtihad sangat terpaut jauh dari para intelek islam sekarang, akan tetapi metode itu tetap masi digunakan untuk menetapkan hokum pada saat ini, Indonesia contohnya dengan perlengkapan alat-alat pemerintahan menetapkan dan mencoba merumuskan hokum yang akan di sahkan untuk orang islam, kedatangan hukum islam ke tanah air juga mendapat tempat yang sama dengan hokum yang di bawah oleh belanda, karana belanda juga member porsi bagi umat islam untuk melakukan agamanya walau hanya sebagian kecil saja. Namun melihat perkambangannya ada sebagian dari daerah-daerah di ibu pertiwi ini mendapat porsi untuk menjalankan hokum islam secarah penuh, seperti aceh. Walaupun demikan pertimbnagan pemberian itu tidak berpengaruh banyak bagi kepemerintahan saat ini.



Oleh: agus salim


[1] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 49.
[3] .lihat. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/02/sejarah-hukum-islam.htm
[4] Baca Khudhori Bike, Tarikh Tasrik Al-islami. Hidaya Surabaya,hal 105-108..
[5] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 60.

[6] [6] Lihat Dr.Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oreintalis.cet.ll, Tiara wacana. Yogyakarta 1991. Hal 62.

[7] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-sejarah//

[8] http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-sejarah.